Show simple item record

dc.contributor.advisorDr. Saifudin, S.H., M.Hum
dc.contributor.authorMoh Hudi, 15921087
dc.date.accessioned2018-03-01T10:46:48Z
dc.date.available2018-03-01T10:46:48Z
dc.date.issued2018-02-24
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/5904
dc.description.abstractPembangunan dalam suatu negara tentu menjadi hal yang sangat penting, hampir seluruh negara di dunia telah memiliki. Negara tanpa adanya pembangunan akan stagnan, karena negara akan berhenti pada satu titik, sedangkan perubahan selalu berubah dan bergulir seiring dengan perkembangan zaman. Agar pembangunan dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan suatu perencanaan pembangunan yang baik. Tanpa adanya perencanaan pembangunan yang baik, hampir dapat dipastikan pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian Indonesia juga membutuhkan perencanaan pembangunan yang baik, sehingga tidak mengherankan semenjak negara Indonesia merdeka telah memiliki perencanaan pembangunan, meskipun pada saat itu belum terbentuk perencanaan yang begitu baik, hingga pada tahun 1960 baru terbentuk perencanaan pembangunan yang lebih baik, yang dikenal dengan sebutan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN hanya berlaku pada era orde lama, orde baru, dan reformasi. Setelah reformasi GBHN tidak dikenal lagi dalam UUD 1945. Ketiadaan GBHN pasca reformasi untuk mengantisipasi kekosongan hukum dalam acuan dasar pembangunan nasional dibentuklah UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Namun sampai saat ini masih banyak yang pro kontra terhadap acuan dasar atau pedoman dalam pembangunan nasional. Terdapat yang pro GBHN mengingikan dihidupkan kembali sebagai jaminan pembangunan yang berkelanjutan dan kontinuitas, sedangkan yang pro SPPN menganggap untuk saat ini yang paling sesuai dan relevan adalah SPPN karena sudah sesuai dengan tunturan reformasi, demokrasi dan otonomi luas yang menjadi dalihnya. Berdasarkan keadaan tersebut penulis mengkaji dan meneliti, mengapa GBHN tidak lagi dijadikan acuan dasar dalam pembangunan pasca reformasi, apakah materi muatan SPPN dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam perencanaan pembangunan sebagai pengganti GBHN, dan apa kelebihan dan kekurangan GBHN dan SPPN?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan jenis dan pendekatan yang bersifat kualitatif dengan metode normatif komparatif. Objek penelitian ini adalah UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, Tap MPR Tentang GBHN, UU N0. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Kerangka berpikir yang digunakan adalah kerangka berpikir secara deduktif. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung dari UUD, GBHN, UU SPPN, dan UU RPJPN. Menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan menelusuri peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, penelitian, jurnal, dll. Serta menggunakan data tersier yang menunjang bahan hukum primer dan data sekunder seperti kamus besar bahasa indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan GBHN dalam UUD sebagai konsekuensi dari tidak adanya lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehingga menjadi hal yang lazim apabila MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Sebagai konsekuensinya presiden dan wakil presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR, namun setelah reformasi keadaan tersebut berbeda. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Materi GBHN dan SPPN hampir sama, yang membedakan GBHN terkodifikasi dalam satu dokumen, sedangkan SPPN diturunkan lagi sebagai manifesto yakni UU RPJPN, Perpres dan/atau Perda yang dijabarkan dari visi-misi presiden dan kepala daerah pada masa pencalonan. Pada masa jabatan presiden hanya dijalankan maksimal sepuluh tahun, berbeda dengan era sebelum reformasi jabatan presiden dapat berlaku sampai puluhan tahun. Atas ketentuan tersebut maka acuan dasar dalam pembangunan nasional harus dikodifikasi dalam satu dokumen, dengan demikian pembangunan dapat dijalankan secara baik, kesinambungan, dan terarah.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPEMERINTAHAN PRESIDENSIILen_US
dc.titlePERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL (Studi Perbandingan Antara Model Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)en_US
dc.typeMaster Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record