Show simple item record

dc.contributor.authorRohman, Nur
dc.date.accessioned2024-01-30T06:04:00Z
dc.date.available2024-01-30T06:04:00Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.uridspace.uii.ac.id/123456789/47194
dc.description.abstractSetelah terbit UU AP dan Perma 2/2019 terjadi perubahan makna KTUN yang sekaligus memperluas kewenangan absolut PTUN. Dalam praktik terjadi kebingungan untuk menentukan peradilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tindakan faktual dan/atau OOD. Ada tiga sengketa yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini, yaitu pertama, kasus warga Kentingan Solo melawan Tergugat I Wali Kota Solo dan Tergugat II Polresta Surakarta. Kedua, kasus pernyataan Jaksa Agung saat rapat paripurna di DPR RI. Ketiga, kasus pelambatan atau pemblokiran akses internet di Papua antara AJI dan SAFEnet Melawan Tergugat I yaitu Kominfo dan Tergugat II yaitu Preisden RI. Adapun permasalahan hukumnya pertama, apakah tindakan faktual dan/atau OOD setelah terbit UU AP dan Perma 2/2019 sepenuhnya menjadi kompetensi absolut dari PTUN ?. Kedua, apa pertimbangan hukum Majelis Hakim PTUN dalam menentukan obyek sengketa pada Putusan Nomor 26/G/TF/2020/PTUN.SMG, Nomor 99/G/2020/PTUN-JKT, dan Nomor 230//GTF/2019/PTUN-JKT ?. Penelitian ini secara khusus memusatkan fokus pada studi kasus. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum yuridis-empiris. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui studi kepustakaan dan wawancara narasumber terhadap data-data primer, sekunder dan tersier. Analisis yang digunakan adalah secara deskriptif. Penulis menyimpulkan, pertama, tidak sepenuhnya objek perkara tindakan faktual dan/atau OOD menjadi kompetensi absolut dari PTUN. Pengadilan Negeri juga masih berwenang untuk memeriksa dan mengadili objek gugatan tersebut sepanjang KTUN terbit berdasarkan hukum privat bukan hukum publik. Kedua, Majelis Hakim PTUN Semarang dan Jakarta menyatakan hal yang sama bahwa tindakan pemerintah dalam putusan nomor 26/G/TF/2020/PTUN.SMG, putusan nomor 99/G/2020/PTUN-JKT, dan putusan nomor 230/GTF/2019/PTUN-JKT adalah masuk dalam kualifikasi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad)”. Namun dalam putusan 26/G/TF/2020/PTUN.SMG Majelis Hakim tidak menerima gugatan, sedangkan dalam putusan 99/G/2020/PTUN-JKT, dan putusan nomor 230/GTF/2019/PTUN- JKT Majelis Hakim menerima gugatan. Penulis menyarankan Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan revisi UU AP dan UU PTUN untuk mensinkronkan norma hukum formil dan materil yang saling kontradiksi antara kedua UU tersebut. Selanjutnya menyarankan untuk revisi Perma 2/2019 khususnya terkait istilah yang digunakan harus sesuai dengan hukum public.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectOODen_US
dc.subjectPutusanen_US
dc.subjectPTUNen_US
dc.titleProblematika Hukum Penyelesaian Tindakan Faktual Dan/atau Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah Sebagai Obyek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negaraen_US
dc.title.alternative(Studi Kasus : Putusan Nomor 26/G/TF/2020/PTUN.SMG, Putusan Nomor 99/G/2020/PTUN-JKT, dan Putusan Nomor 230/GTF/2019/PTUN-JKT)en_US
dc.typeThesisen_US
dc.Identifier.NIM19912066


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record