Reformulasi Regulasi Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dalam Hukum Acara Pidana
Abstract
Penelitian ini dilatarbelakangi atas kebutuhan korban untuk menuntut ganti
kerugian, sedangkan mekanisme restitusi dan kompensasi yang ada
penggunaannya terbatas untuk jenis korban tindak pidana tertentu. Penggabungan
perkara gugatan ganti rugi dalam Pasal 98 – 101 KUHAP menjadi mekanisme
yang dapat digunakan korban secara umum untuk menuntut ganti kerugian.
Faktanya, mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian memiliki
banyak kelemahan. Selain itu, RUU KUHAP justru menghilangkan mekanisme
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Penelitian ini merupakan
penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundangan – undangan,
pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Rumusan masalah
penelitian adalah: apa urgensi reformulasi regulasi penggabungan gugatan ganti
kerugian dalam hukum acara pidana? dan bagaimana desain regulasi ideal
penggabungan gugatan ganti kerugian dalam hukum acara pidana?. Hasil
penelitian ini: 1) mekanisme kompensasi dan restitusi yang diatur secara sektoral
dalam undang – undang tertentu tidak dapat digunakan korban tindak pidana
secara umum untuk menuntut ganti kerugian; 2) ketentuan bahwa korban yang
berhak mendapat restitusi akan ditetapkan dengan keputusan LPSK akan
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi korban tindak pidana; 3) ketentuan
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang masih banyak kelemahan; 4)
guna mewujudkan perlindungan korban tindak pidana dalam model hak – hak
prosedural (procedural right model) menjadi urgensi melakukan reformulasi
regulasi penggabungan gugatan ganti kerugian. Dalam gagasan regulasi ideal,
perlu pengecualian keberlakuan asas actor sequitor forum rei (gugatan diajukan
di pengadilan tempat tergugat tinggal), karena akan bertentangan dengan tujuan
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dan asas peradilan cepat,
sederhana biaya murah jika gugatan diajukan di pengadilan tempat tergugat
tinggal, sedangkan perkara pidananya tidak diadili disana. Korban tindak pidana
direkomendasikan mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag)
kepada terdakwa (tergugat) guna menjamin pembayaran ganti kerugian. Terhadap
terdakwa (tergugat) yang tidak mampu, korban tindak pidana dapat mendudukkan
negara sebagai pihak yang turut digugat atau yang harus tunduk pada putusan
untuk menjamin pembayaran ganti kerugian. Hal ini didasarkan pada 3 (tiga)
prinsip perlindungan dalam hukum HAM, teori kontrak sosial, Pasal 28 huruf G
ayat (1) UUD 1945, fungsi Kepolisian dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa negara wajib
melindungi warga negaranya. Jika terjadi tindak pidana dan menimbulkan korban,
dalam teori states failure to protect victim negara dikatakan gagal melindungi.
Kegagalan ini berdasarkan kajian Governmental liability dalam teori tanggung
gugat serta yurisprudensi arrest tahun 1919 adalah Perbuatan Melawan Hukum.
Penelitian ini menyarankan dilakukan reformulasi regulasi penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian dengan didasarkan pada prinsip perlindungan kepentingan
yang berimbang (daad-daderstrafrecht) dan mengedepankan asas perlindungan
korban yaitu: asas manfaat, keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum.
Collections
- Master of Law [1446]