Implikasi Yuridis Pemeriksaan Persidangan oleh Panel Hakim yang diperluas Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Abstract
Sepak terjang Mahkamah Konstitusi selama kurang lebih 13 tahun dalam
mengawal konstitusi negara UUD NRI 1945 Perubahan telah memberikan aroma positif
maupun negatif dalam dinamika hukum ketatanegaraan di Indonesia. Aroma positif yang
diciptakan Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusanya yang telah memberikan
perlindungan bagi warga negara dalam memperjuangkan hak-hak konstitusional
sebagai warga negara terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh undang-undang serta
melindungi kehormatan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi tertinggi dalam hierarki
peraturan perundang-undangan. Sedangkan, aroma negatif sendiri datang dari hakimhakim
konstitusi. Hakim-hakim konstitusi yang selama ini menjunjung tinggi integritas
dan etika profesi sebagai hakim tercemar karena ketidakhadiran beberapa hakim dalam
persidangan dengan alasan menghadiri undangan kenegaraan baik dari lembaga tinggi
negara Indonesia maupun lembaga tinggi negara lain serta melaksanakan roadshow
ketatanegaraan yang diselenggarakan oleh MK sendiri. Padahal hal tersebut bukan
merupakan kewajiban hakim MK sebagai mana yang terncantum dalam UU MK,
sehingga beberapa persidangan pleno dihadiri kurang dari 7 (tujuh) orang hakim
konstitusi yang jelastelah melanggar Pasal 28 ayat (1) UU MK dalam prosedur beracara
di MK. Berangkat dari hal tersebut, maka muncul pertanyaan; Pertama, bagaimana
kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia?; Kedua, mengapa materi muatan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
memperbolehkan pemeriksaan persidangan dilaksanakan oleh panel hakim yang
diperluas yang bertentangan dengan UU MK?; Ketiga, apa implikasi yuridis
dilaksanakannya pemeriksaan persidangan oleh panel hakim yang diperluas terhadap
keabsahan putusan Mahkamah Konstitusi?. Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat normatif yang mengkaji studi dokumen berupa peraturan perundang-undangan.
Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan peraturan perundang-undangan. Jenis
data yang digunakan adalah bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Metode
pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan wawancara. Data yang terkumpul
kemudian dianalisa melalui analisa deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini
menyatakn bahwa: Pertama, kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) diakui
sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memiliki
kedudukan sama dengan peraturan yang dibentuk oleh lembaga tinggi negara lainnya
yang bersifat internal regeling. PMK dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi yang materi
muatannya berisi sebagai pelengkap aturan khususnya hukum acara MK yang belum
terakomodir di dalam UU MK dan sebagai aturan yang mengatur pemenuhan kebutuhan
hukum MK, serta terdapat materi muatan PMK yang bertentangan dengan UU MK
dalam hal pengaturan jumlah hakim yang harus menghadiri pemeriksaan persidangan
dalam sidang pleno hakim Mahkamah Konstitusi. Ketiga, keabsahan putusan Mahkamah
Konstitusi yang dalam proses beracara pemeriksaan persidangan yang dihadiri kurang
xv
dari 7 (tujuh) orang hakim konstitusi bisa berakibat batal demi hukum karena secara
teori hierarki peraturan perundang-undangan sumber hukum acara MK yang utama
adalah UU MK bukan PMK. Agar hukum acara MK berjalan dengan baik dan tidak ada
lagi hakim kosntitusi yang tidak menghadiri persidangan bukan karena alasan keadaan
luar biasa, maka DPR RI sebagai pembentuk Undang-Undang dan Mahkamah Konstitusi
sebagai pelaksana Undang-Undnag harus melakukan revisi terhadap UU MK khusunya
hukum acara MK.
Collections
- Law [2359]