Pelemahan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/Puu-IV/2006, Putusan Nomor 1-2/Puu-XII/2014 Dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015)
Abstract
Kehadiran Komisi Yudisial tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuasaaaan
keakiman yang mandiri dan merdeka. Lebih lanjut keberadaan Komisi Yudisial
merupakan amanat dari reformasi yang menuntut adanya pengawasan eksternal
yang efektif guna mengawasi perilaku hakim, baik secara preventif dan represif
(code of conduct). Oleh karena itu, Komisi Yudisial diberi tugas dan wewenang
untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim sesuai dengan UUD
1945 Pasal 24B. Namun, melalui Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 pengujian
atas UU Nomor 22 Tahun 2004 wewenang Komisi Yudisial menjadi berubah.
Selanjutnya melalui Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 pengujian atas Perpu
Penetapan juga mensyaratkan hal yang sama dengan merujuk putusan yang telah
ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan Putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015
pengujian atas paket kekuasaan kehakiman yang dimana di dalam putusan
tersebut justru menghilangkan peran Komisi Yudisial sebagai lembaga negara
yang ikut didalam seleksi hakim tingkat pertama. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini dilakukan dengan mengambil 2 (dua) rumusan masalah yaitu,
pertama, bagaimanakah bentuk pelemahan Komisi Yudisial RI melalui Putusan
MK? Kedua, bagaimanakah bentuk ideal kelembagaan Komisi Yudisial untuk
Indonesia kedepannya? kerangka teori yang digunakan adalah Teori Negara
Hukum, Transisi Demokrasi, dan Lembaga Negara. Adapun penelitian ini adalah
hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka dengan fokus kajian menelaah perkembangan keberadaan Komisi
Yudisial dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Sumber data sekunder
berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan data
menggunakan teknik studi dokumen dan analisis data dengan deskriptif-kualitatif.
Pendekatan yang digunakan ada dua yaitu pendekatan kasus dan pendekatan
perundang-undangan. Hasil analisis menyimpulkan pertama, bahwa berdasarkan
ketiga putusan MK tersebut dapat dikatakan melemahkan posisi KY sebagai
lembaga yang diamanatkan untuk memberikan pengawasan atas perilaku hakim
baik secara preventif maupun represif atau dengan kata lain menjaga dan
menegakkan. kedua, belajar dari berbagai negara, khususnya Belanda, Swedia,
Peru, Thailand dan Filipina. Nampaknya perlu adanya fungsi buffering
(penguhubung) di dalam hal penganggaran kekuasaan kehakiman, pembenahan
kualitas Sumber Daya Manusia, penguatan UU Nomor 18 Tahun 2011, partisipasi
publik, dan eksaminasi putusan.
Collections
- Law [2504]