dc.description.abstract | Film dokumenter ini bercerita mengenai Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor
898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Non-pribumi di DIY
yang sampai saat ini masih menjadi aturan yang mengandung rasialisme. Padahal aturan terkait
rasialisme sudah dihapuskan dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis. Masih berlakunya aturan tersebut hingga saat ini membuat Handoko melakukan
gugatan terhadap Instruksi 1975 tersebut. Langkah-langkah yang sudah dilakukan Handoko
adalah mengajukan uji materi atas Instruksi 1975 ke Mahkamah Agung dan menggugat instruksi
tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter ini adalah pendekatan
ekpositori. Pendekatan ekpositori dipilih agar pesan yang akan disampaikan kepada penonton
lebih mudah disampaikan. Dalam mengumpulkan informasinya, metode yang digunakan adalah
dengan melakukan riset dan observasi dengan cara riset media dan wawancara langsung dengan
subjek. Hal tersebut juga bertujuan untuk membangun kedekatan dengan subjek.
Berdasarkan proses pembuatan film yang telah dilakukan, hasilnya adalah bahwa
Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak katas
Tanah bagi Warga Non-pribumi di DIY masih berlaku. Namun berlakunya Instruksi 1975
tersebut tidak membuat Handoko diam. Ia melakukan gugatan dengan menempuh jalur hukum
untuk menghilangkan adanya praktik yang bersifat rasial di DIY. Selain Handoko, narasumber
lain yang masuk ke dalam film adalah Willie Sebastian, Ni’matul Huda, dan narasumber lainnya
yang didapat dari media lain yaitu, Sultan Hamengkubuwono X, GKR Hemas, GKR
Mangkubumi, dan Budhi Masturi. | en_US |