Eksistensi Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspektif Negara Hukum
Abstract
Baitul Maal wat Tanwil (BMT) eksistensinya sebagai lembaga Keuangan
mikro syari’ah Sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro pengawasan BMT terbentur oleh status badan hukum. Lembaga
keuangan mikro diatur hanya dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992
tentang perkoperasian. Kurangnya landasan yuridis formal BMT, kemudian BMT
memposisikan yang kelembagaannya, pembinaan, dan pengawasan mengikuti bentuk
swadaya masyarakat. Setelah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 BMT memiliki
status badan hukum dan memiliki sistem pembinaan dan pengawasan yang di
lakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian koperasi, dan dapat di
delegasikan oleh pihak lain.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif Doctrinal,
data primer berupa Undang-Undang No 1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan
mikro, Undang-Undang Nomer 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Undang-Undang No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, data sekunder di dukung
oleh dokumentasi berbagai tulisan dan dokumentasi yang mendukung tema
penelitian.
Hasil penelitian, bahwa dalam konteks negara hukum sebelum UndangUndang
Nomor 1 tahun 2013 BMT memiliki kendala pengawasan di sebabkannya
belum memiliki dasar yuridis formal berupa perundang-undangan yang secara khusus
mengatur lembaga keuangan mikro Syari’ah peraturan yang tersedia baru BPRS
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Bank, KJKS dan UJKS
berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, sehingga
BMT belum memiliki standarisasi sistem pembinaan dan pengawasan yang baku.
Untuk memenuhi formalitas kelembagaan maka BMT banyak mengikuti berbagai
bentuk lembaga keuangan formal yang ada di Indonesia termasuk melakukan
penyesuaian sistem pengawasan. Sebagian besar BMT mengikuti pola KJKS/ UJKS
berbadan hukum Koperasi, dan ada beberapa bertransformasi menjadi dan mengikuti
sistem pengawasan BPRS, dan lembaga swadaya masyarakat. Setelah UndangUndang
Nomor 1 tahun 2013 BMT sistem pengawasan di atur secara rigid,
terstruktur dan memiliki standar baku. Pengawasan di lakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) , Kementerian Koperasi, dan dapat didelegasikan kepada
pemerintahan daerah kabupaten atau lembaga yang di tunjuk. Eksistensi pengawasan
menunjukan adanya relasi sebab akibat terhadap muatan hukum materil dengan kinerja BMT yang kemudian berdampak kepada perlindungan hukum kelembagaan
dan Konsumen.