Show simple item record

dc.contributor.advisorProf. Dr. H. Abd. Salam Arief, MA
dc.contributor.advisorDr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag
dc.contributor.authorSlamet Mujiono
dc.date.accessioned2021-08-12T02:28:07Z
dc.date.available2021-08-12T02:28:07Z
dc.date.issued2020-10-21
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/31511
dc.description.abstractBaitul Maal wat Tanwil (BMT) eksistensinya sebagai lembaga Keuangan mikro syari’ah Sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pengawasan BMT terbentur oleh status badan hukum. Lembaga keuangan mikro diatur hanya dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Kurangnya landasan yuridis formal BMT, kemudian BMT memposisikan yang kelembagaannya, pembinaan, dan pengawasan mengikuti bentuk swadaya masyarakat. Setelah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 BMT memiliki status badan hukum dan memiliki sistem pembinaan dan pengawasan yang di lakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian koperasi, dan dapat di delegasikan oleh pihak lain. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif Doctrinal, data primer berupa Undang-Undang No 1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro, Undang-Undang Nomer 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, data sekunder di dukung oleh dokumentasi berbagai tulisan dan dokumentasi yang mendukung tema penelitian. Hasil penelitian, bahwa dalam konteks negara hukum sebelum UndangUndang Nomor 1 tahun 2013 BMT memiliki kendala pengawasan di sebabkannya belum memiliki dasar yuridis formal berupa perundang-undangan yang secara khusus mengatur lembaga keuangan mikro Syari’ah peraturan yang tersedia baru BPRS berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Bank, KJKS dan UJKS berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, sehingga BMT belum memiliki standarisasi sistem pembinaan dan pengawasan yang baku. Untuk memenuhi formalitas kelembagaan maka BMT banyak mengikuti berbagai bentuk lembaga keuangan formal yang ada di Indonesia termasuk melakukan penyesuaian sistem pengawasan. Sebagian besar BMT mengikuti pola KJKS/ UJKS berbadan hukum Koperasi, dan ada beberapa bertransformasi menjadi dan mengikuti sistem pengawasan BPRS, dan lembaga swadaya masyarakat. Setelah UndangUndang Nomor 1 tahun 2013 BMT sistem pengawasan di atur secara rigid, terstruktur dan memiliki standar baku. Pengawasan di lakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) , Kementerian Koperasi, dan dapat didelegasikan kepada pemerintahan daerah kabupaten atau lembaga yang di tunjuk. Eksistensi pengawasan menunjukan adanya relasi sebab akibat terhadap muatan hukum materil dengan kinerja BMT yang kemudian berdampak kepada perlindungan hukum kelembagaan dan Konsumen.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjecteksistensi pengawasanen_US
dc.subjectbaitul maal wat tamwilen_US
dc.subjectlembaga keuangan mikroen_US
dc.subjectnegara hukumen_US
dc.titleEksistensi Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspektif Negara Hukumen_US
dc.Identifier.NIM11923004


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record