Studi Komparatif Fikih Bencana Muhammadiyah Dan Nahdhatul Ulama
Abstract
Pemilihan judul disertasi ini di latar belakangi oleh adanya fikih dari
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang penanganan bencana,
sebagai respons atas fenomena terjadinya bencana yang bertubi-tubi di
Indonesia, yang telah memakan banyak korban dan menimbulkan berbagai
kerugian, dan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua organisasi
kemasyarakatan Islam terbesar di negeri ini, sehingga apa saja tentang
keduanya selalu menarik dan perlu untuk di teliti, termasuk fikih tentang
penanganan bencana ini.
Dengan latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi fokus
penelitian dari disertasi ini ialah: Bagaimana dan mengapa metodologi fikih
penanganan bencana dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama?.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan
jenisnya kualitatif karena tidak berhubungan dengan perhitungan angkaangka
statistik,
sekaligus
bersifat
komparatif
untuk
membandingkan
antara
kedua
fikih
tersebut.
Pendekatan
filosofis
dilakukan,
termasuk
melalui
term
epistemilogi
baya
>ni, burha
>ni
> dan ‘irfa
>ni
> sebagai instrumen untuk memperjelas isi kedua
fikih dan selanjutnya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian:
bagaimana? dan mengapa? tersebut di atas.
Di penghujung kerja penelitian ini didapatkaan kesimpulan bahwa
sebagai sebuah pedoman, kerangka metodolgi yang dipakai dalam kedua
fikih tersebut mencakup semua aspek; konsepsi dasar yang terkait dengan
akidah dan keyakinan, rumusan etika dan moral dan terakhir hal-hal yang
bersifat praktis, dengan sedikit perbedaan: fikih Muhammadiyah tuntas
sampai penjelasan tentang tata cara ibadah praktis dalam kondisi bencana,
sementara fikih Nahdhatul Ulama hanya sampai pada langkah-langkah
praktis penanganan korban bencana.
Sementara terkait dengan trilogi epistemologi tersebut diatas
didapat kesimpulan bahwa pada poin baya>ni> fikih Muhammadiyah tampak
lebih kecil dibanding fikih Nahdlatul Ulama, sedang pada tingkat burha>ni>,
Muhammadiyah lebih kuat dan dalam dibanding Nahdlatul Ulama, dan pada poin ‘irfa>ni> baik Muhammadiyah maupun Nahdlatu Ulama tidak tampak
menggunakannya.
Kenyataan perbedaan itu terpulang kepada metodologi dasar yang
memang agak berbeda; Muhammadiyah start dari ayat dan hadis, sementara
Nahdlatul Ulama memulai dari aqwal ulama, meskipun pada akhirnya
keduanya tentu sama-sama menggunakan ayat, hadis dan pendapat ulama
klasik.