Show simple item record

dc.contributor.advisorMuntoha
dc.contributor.authorFatma Hidayati
dc.date.accessioned2021-04-26T01:30:04Z
dc.date.available2021-04-26T01:30:04Z
dc.date.issued2020
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/123456789/28328
dc.description.abstractSejak tahun 1945 Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara yang berdasarkan atas hukum. Deklarasi sebagai negara hukum diperjelas dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara Hukum”, konsekuensinya adalah dalam setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan masyarakat harus berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kebijakan otonomi daerah pasca reformasi telah berimplikasi terhadap perkembangan perda-perda berbasis Syari’ah di berbagai daerah. Pasal 10 UU No 23 Tahun 2014 menyatakan Agama menjadi salah satu dari enam hal yang tidak diotonomikan. Selain kekhawatiran akan perpecahan pada dasarnya agama merupakan salah satu hal yang tidak diotonomikan, namun sejauh ini jangkauan otoritas kewenangan pusat atas agama nyatanya masih bisa dinegosiasikan. Terbukti adanya perda-perda yang bernuansa agama digunakan sebagai dasar berperilaku dalam masyarakat sebagai sebuah aturan yang mengikat. Mengapa perda-perda berbasis syari’ah pada era otonomi daerah bermunculan? Dan Bagaimana parameter batu uji perda-perda berbasis syari’ah dan Siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap perda-perda tersebut? Munculnya perda-perda berbasis syari’ah ini mengalami dikotomisasi dikalangan masyasrakat. Sejatinya Perda Syari’ah adalah perda yang dalam pembentukannya didasarkan pada nilai-nilai agama tertentu. Nilai-nilai dalam agama inilah yang kemudian menjadikan adanya berbagai perdebatan mengenai Perda-perda berbasis syari’ah, padahal nilai-nilai ini sebenarnya adalah nilai-nilai yang sifatnya merupakan kebaikan universal yang juga dalam agama lainnyapun nilai kebaikan ini juga dijadikan dasar dalam berperilaku. Nilai seperti halnya larangan pelacuran, minuman keras, perjudian, prostitusi dan tindakan asusila lainnya tentu disemua agama juga mengajarkan hal yang sama, hanya saja dalam hal ini penyebutan “syari’ah” lah yang kemudian menjadikan seolah-olah peraturan tersebut diskriminatif terhadap sebagian masyarakat. Munculnya perda-perda Syari’ah merupakan ekspresi euforia demokrasi sebagai bentuk ekspresi ideologi bagi partai-partai Islam atau berbasis massa Islam. politik will menjadi salah satu alasan adanya Perda maupun raperda yang bisa lolos meskipun bertentangan dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Indonesia sebagai negara hukum, demokrasi dan kesatuan tentu diharapkan mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Meskipun dalam praktiknya Perda-perda Syar’iah tidak memiliki parameter batu uji yang langsung didasarkan pada ketentuan-ketentuan syari’ah. Perda-perda ini menggunakan pasal 250 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2014 sebagai parameter batu uji. Untuk itu Hakim menjadi salah satu orang yang diharapkan mampu memecahkan segala bentuk permasalahan dalam hal ini. Untuk itu peran hakim sebagai penguji kelayakan Perda perlu dihadirkan dalam mekanisme pembatalan Raperda maupun Perda dalam segi pengawasan.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPerda berbasis Syari’ahen_US
dc.subjectOtonomi Daerahen_US
dc.subjectParameter Batu Ujien_US
dc.subjectPengawasanen_US
dc.titlePeraturan Daerah Berbasis Syari’ah Dalam Perspektif Negara Hukum Pada Era Otonomi Daerah (Analisis Parameter Batu Uji Peraturan Daerah Berbasis Syari’ah dan Pengawasanya)en_US
dc.Identifier.NIM17912047


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record