PERBANDINGAN MEKANISME PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH PASCA REFORMASI DI TINJAU DARI UU NO.22/1999, UU NO.32/2004 & UU NO.23/2014
Abstract
Pengaturan mengenai pemberhentian kepala daerah mulai dari masa reformasi sampai saat ini telah
diatur dalam sejumlah undang-undang diantarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintah Daerah sebagai undang-undang pertama pasca reformasi yang mengatur
mengenai tata cara pemberhentian kepala daerah, dimana dalam UU ini terdapat tiga substansi
dalam ranah pemberhentian kepala daerah yakni pasal pasal 46, pasal 49, dan pasal 51 dan 52.
Begitu juga dengan keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2004. terjadi perubahan kembali terkait
dengan mekanisme pemberhentian Kepala Daerah. Sampai yang terakhir mekanisme
pemberhentian kepala daerah diatur kembali dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, setidaknya dari reformasi sudah 3 kali terjadi penyempurnaan UU Pemda. Sehingga setiap
pergantian UU terjadi perubahan dalam mekanisme pemberhentian kepalada daerah. Berangkat
dari problematika diatas, maka muncullah beberapa pertanyaan yaitu: Bagaimana mekanisme
pemberhentian kepala daerah berdasarkan UU No.22/199, UU No. 32/2004 & UU No.23/2014
tentang Pemda? Apa saja problematika yang ditimbulkan oleh UU Nomor 23/2014 dalam hal
pemberhentian kepala daerah? Dan Bagaimana mekanisme pemberhentian kepala daerah yang
ideal? Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat normatif, pendekatan yang dilakukan meliputi
pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data yang
terkumpul kemudian dianalisa melalui analisa deskriptif kualitatif. Hasil dari analisa tersebut
bahwa Bahwa mekanisme pemberhentian kepala daerah berdasarkan UU No.22/199, UU No.
32/2004 & UU No.23/2014 tentang Pemda memiliki perbedaan yang sangat jelas (i)
Pemberhentian kepala daerah dalam UU No 22/1999, di usulkan oleh DPRD kepada Presiden
setelah dilakukan rapat paripurna. (ii) pemberhentian KDH menurut UU No.32/2004, ada 2 jalur
yakni langsung dilakukan oleh Presiden (dalam hal melakukan perbuatan korupsi dan pelanggaran
hukum) dan usulan DPRD terlebih dahulu diajukan ke MA (melanggar sumpah/janji jabatan, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai KDH). (iii) Mekanisme pemberhentian kepala daerah menurut
UU No. 32/ 2014 di usulkan oleh DPRD kepada presiden setelah adanya putusan MA, dan apabila
dalam waktu 14 hari pimpinan DPRD belum mengajukan usulan pemberhentian kepada presiden,
pemerintah pusat (menteri) dapat melakukan langsung pemberhentian Bupati/Wali Kota yang di
usulkan melalui gubernur, sedangkan pemberhentian Gubernur di usulkan oleh menteri kepada
presiden. Problematika yang ditimbulkan oleh UU Nomor 23/2014 dalam hal pemberhentian
kepala daerah yang mana filsofi dari sistem pemberhentian yang ada dalam UU ini masih
bertabrakan dengan asas-asas demokrasi langsung, selain itu keputusan dalam pemberhentian
kepada daerah masih di dominasi oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum.
Mekanisme pemberhentian kepala daerah yang ideal menurut penulis yakni aturan hukum
harusnya lebih dominan daripada pertimbangan politik. Pertimbangan poltik sendiri seharusnya
cukuplah hanya di proses awal usulan pemberhentian oleh DPRD. Selanjutnya bila dalam
persidangan ternyata ditemukan bahwa memang kepala daerah yang bersangkutan telah
melakukan pelanggaran hukum. Maka sudah sewajarnya putusan MA inilah yang menjadi dasar
final dalam proses pemberhentian seorang kepala daerah.
Collections
- Law [2308]