Show simple item record

dc.contributor.advisorMuzayin Nazaruddin, S.Sos., MA
dc.contributor.authorPRITHA RISTRANING PRATIWI, 14321027
dc.date.accessioned2019-01-03T09:49:31Z
dc.date.available2019-01-03T09:49:31Z
dc.date.issued2018-09-26
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/12371
dc.description.abstractBencana tanah longsor yang terjadi pada tanggal 12 Desember 2014 memberikan dampak untuk warga Desa Sampang Banjarnegara, dimulai dari banyak warga yang meninggal, hingga rusak dan hancurnya fasilitas di desa tersebut seperti masjid, rumah, jalan, tempat penampungan air dan yang lainnya. Banyak rumah-rumah warga yang tertimbun oleh longsoran tanah dan akses jalan utama antar daerah tertutup akibat tertimbun tanah. Setelah itu, pemerintah mulai berinisiatif untuk membuatkan hunian baru bagi mereka yang disebut hunian tetap yang dibangun di Desa Ambal. Bantuan-bantuan juga mulai berdatangan dari berbagai macam pihak. Terdapat beberapa miss communication mengenai pemberian bantuan dan adanya recovery bencana serta budaya lokal yang terjadi diantara masyarakat. Tujuan adanya penelitian ini menjelaskan bagaimana komunikasi bencana pada saat bencana dan bagaimana budaya lokal yang terjadi pada masyarakat Desa Sampang mengakibatkan mereka sulit menjalani kehidupan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data yakni dengan observasi dan wawancara mendalam dengan narasumber dan ditambah dengan dokumentasi untuk memperkuat bukti. Penelitian juga menggunakan teknik snow ball untuk mendapatkan hasil penelitian dan memiiki beberapa kriteria untuk narasumber. Penganalisaan data menggunakan empat analisa data yaitu pengumpulan, pengolahan, menganalisa dan menyimpulkan data. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model komunikasi bencana dalam bencana tanah longsor di Desa Sampang Banjarnegara yaitu model komunikasi Lasswell, dimana terdapat dua model komunikasi yaitu ketika masa darurat dan masa relokasi rekonstruksi. Model komunikasi pada masa darurat terdapat dua lajur utama, yaitu antara donatur dengan BPBD kemudian ada BPBD dengan warga. Problem utama dalam model komunikasi masa darurat dikarenakan BPBD menjadi mediator namun BPBD tidak bisa menjalankan fungsi mediasi dengan baik. Model komunikasi pada masa relokasi rekonstruksi dilakukan oleh pemerintah, BPBD, BMKG, dan donatur. Problem komunikasi pada tahap relokasi dan rekonstruksi tidak diikutsertakannya warga dan warga hanya menjadi objek semata dalam hal tersebut. Keterkaitan model komunikasi bencana dengan budaya lokal di warga Desa Ambal adalah adanya sifat sabar dan nrimo. Dikarenakan masyarakat menganggap bencana adalah salah satu bentuk ujian atau hukuman dari Tuhan yang diakibatkan dari ulah mereka yang semena-mena. Mereka juga masyarakat yang pekewuh atau tipe masyarakat yang belum modern dikarenakan saat mereka mengalami kesusahan ekonomi paska bencana tanah longsor mereka tetap berusaha sendiri tidak meminta bantuan lagi kepada pemerintah setempat. Sehingga, pemerintah juga sudah tidak mempedulikan kembali.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectkomunikasi bencanaen_US
dc.subjectbudaya lokalen_US
dc.subjectmasyarakat lokalen_US
dc.titleKOMUNIKASI BENCANA DAN BUDAYA LOKAL (Studi Kasus Model Komunikasi Bencana dalam Bencana Tanah Longsor di Desa Sampang Banjarnegara Tahun 2014)en_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record