AKULTURASI ANTARA BUDAYA LOKAL, FIQH DAN TASAWUF DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MARTABAT TUJUH KESULTANAN BUTON
Abstract
Tulisan ini membahas akulturasi Kearifan Lokal, Hukum dan Sufisme dalam Pembentukan
Martabat Tujuh Pengesahan Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara. Buton sebagai kerajaan
berlangsung selama lebih dari dua abad (1327-1541) dan kemudian dilanjutkan dengan era
kesultanan selama lebih dari empat abad (1541-1960). Selama era kesultanan, Buton berkenalan
dengan naskah dan tradisi sastra. Buton di masa lalu adalah wilayah yang dipenuhi dengan
kecerdasan intelektual dan hasrat eksplorasi spiritual. Ada ratusan manuskrip di Buton. Yang
paling populer dari mereka, disebut oleh Martabat Tujuh. Ini adalah Konstitusi orang Buton yang
mengatur aktivitas sosial, agama, adat dan pemerintahan. Hal ini sangat menarik karena Martabat
Tujuh sebagai konstitusi kesultanan merupakan hasil interelasi dan akulturasi Kearifan Lokal,
Hukum dan Sufisme. Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif, yang
menggambarkan suatu peristiwa atau sistem pemikiran untuk menggambarkan fenomena yang ada,
baik yang terjadi di masa lalu maupun pada masa sekarang. Dalam hal ini yang dijelaskan adalah
fakta atau keadaan Buton, proses akulturasi, dan Martabat Tujuh. Makalah ini menjelaskan
korelasi antara Kearifan Lokal, Hukum dan Sufisme dalam Pembentukan Martabat Tujuh sebagai
Pengesahan Buton