Show simple item record

dc.contributor.advisorDrs. Sofwan Jannah, M. Ag.
dc.contributor.authorWakhid, Mohammad Ziyaurrohman, 13421029
dc.date.accessioned2018-04-23T12:04:39Z
dc.date.available2018-04-23T12:04:39Z
dc.date.issued2017-04-08
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/6807
dc.description.abstractHak ijbār disini merupakan suatu hak yang dimiliki wali (bapak atau kakek) untuk memaksa menikahkan seorang anak atau cucu perempuannya tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Dengan adanya konsep ini, ada kemungkinan terjadi perkawinan tanpa persetujuan dari calon mempelai, dengan syarat walinya adalah bapak atau kakek. Dalam Hukum Islam (Fiqh), terutama dikalangan mazhab masih mengakui adanya hak ijbār, maka dengan itu kebebasan seorang anak atau cucu perempuan dalam menentukan calon suami jadi terbatas. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 wali merupakan syarat perkawinan tetapi dalam kaitannya dengan hak ijbār, undang-undang ini tidak mengakui adanya dan mengharuskan perkawinan yang dilangsungkan diharuskan atas persetujuan kedua belah pihak (calon mempelai). Hal ini tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat (1) sehingga terdapat perbedaan hukum di antara kedua produk hukum tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang memanfaatkan perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif-analisis-komparatif yaitu penyusun berusaha mendeskripsikan konsep hak ijbār dalam perkawinan kemudian dianalisis dan dikomparasikan dengan kedua perspektif tersebut. Pendekatan yang digunakan dengan pendekatan normative-yuridis. Untuk pengumpulan data terbagi menjadi dua yakni sumber utama dan sumber sekunder. Analisisnya secara kualitatif dengan menggunakan instrument analisis induktif (menganalisis produk pemikiran para ulama fiqh tentang hak ijbār dalam perkawinan serta konsep UU, No 1 tahun 1974 kemudian disimpulkan secara komprehensif) dan komparatif (membandingkan). Berdasarkan analisis dari pembahasan, dalam Hukum Islam (fiqh) masih mengakui adanya hak ijbār,Pertama, menurut kelompok yang diwakili oleh Imam Syafi’I ini mereka berpendapat bahwasanya kebebasan perempuan dalam menentukan calon suami dibatasi oleh seorang bapak atau kakek yang mempunyai hak ijbār, baik wanita itu gadis yang belum dewasa, gadis dewasa maupun janda, pendapat ini didukung oleh Imam Hanbali dan Maliki. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa hak ijbār diperuntukkan hanya kepada gadis yang belum dewasa (belum baligh) dan orang gila (orang yang tidak berakal), selain itu jika wanita telah baligh dan berakal maka dapat menentukan calon suaminya sendiri. Sedangkan dalam Undang-undang tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengakui adanya hak ijbār, karena berdasarkan atas persetujuan calon mempelai. Sehingga perkawinan yang dilakukan dengan adanya paksaan dari pihak lain tidak sah, dan apabila sudah terjadi perkawinan maka yang bersangkutan dapat melakukan pembatalan di depan pengadilan.id
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaid
dc.titleKebebasan Perempuan dalam Menentukan Calon Suami dalam Perspektif Hukum Islam (Fiqh) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974id
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record