Kebebasan Perempuan dalam Menentukan Calon Suami dalam Perspektif Hukum Islam (Fiqh) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Abstract
Hak ijbār disini merupakan suatu hak yang dimiliki wali (bapak atau
kakek) untuk memaksa menikahkan seorang anak atau cucu perempuannya tanpa
persetujuan dari yang bersangkutan. Dengan adanya konsep ini, ada kemungkinan
terjadi perkawinan tanpa persetujuan dari calon mempelai, dengan syarat walinya
adalah bapak atau kakek. Dalam Hukum Islam (Fiqh), terutama dikalangan
mazhab masih mengakui adanya hak ijbār, maka dengan itu kebebasan seorang
anak atau cucu perempuan dalam menentukan calon suami jadi terbatas. Menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 wali merupakan syarat perkawinan tetapi dalam
kaitannya dengan hak ijbār, undang-undang ini tidak mengakui adanya dan
mengharuskan perkawinan yang dilangsungkan diharuskan atas persetujuan kedua
belah pihak (calon mempelai). Hal ini tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974
pasal 6 ayat (1) sehingga terdapat perbedaan hukum di antara kedua produk
hukum tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang memanfaatkan
perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. Sifat dari penelitian ini adalah
bersifat deskriptif-analisis-komparatif yaitu penyusun berusaha mendeskripsikan
konsep hak ijbār dalam perkawinan kemudian dianalisis dan dikomparasikan
dengan kedua perspektif tersebut. Pendekatan yang digunakan dengan pendekatan
normative-yuridis. Untuk pengumpulan data terbagi menjadi dua yakni sumber
utama dan sumber sekunder. Analisisnya secara kualitatif dengan menggunakan
instrument analisis induktif (menganalisis produk pemikiran para ulama fiqh
tentang hak ijbār dalam perkawinan serta konsep UU, No 1 tahun 1974 kemudian
disimpulkan secara komprehensif) dan komparatif (membandingkan).
Berdasarkan analisis dari pembahasan, dalam Hukum Islam (fiqh) masih
mengakui adanya hak ijbār,Pertama, menurut kelompok yang diwakili oleh Imam
Syafi’I ini mereka berpendapat bahwasanya kebebasan perempuan dalam
menentukan calon suami dibatasi oleh seorang bapak atau kakek yang mempunyai
hak ijbār, baik wanita itu gadis yang belum dewasa, gadis dewasa maupun janda,
pendapat ini didukung oleh Imam Hanbali dan Maliki. Kedua, menurut Imam Abu
Hanifah, mereka berpendapat bahwa hak ijbār diperuntukkan hanya kepada gadis
yang belum dewasa (belum baligh) dan orang gila (orang yang tidak berakal),
selain itu jika wanita telah baligh dan berakal maka dapat menentukan calon
suaminya sendiri. Sedangkan dalam Undang-undang tahun 1974 tentang
perkawinan tidak mengakui adanya hak ijbār, karena berdasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Sehingga perkawinan yang dilakukan dengan adanya
paksaan dari pihak lain tidak sah, dan apabila sudah terjadi perkawinan maka
yang bersangkutan dapat melakukan pembatalan di depan pengadilan.
Collections
- Islamic Law [644]