dc.description.abstract | Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik pelaksanaan pengesampingan perkara pidana dengan alasan demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung Republik Indonesia. Rumusan masalah yang diajukan yaitu: Bagaimana latarbelakang pemikiran adanya politik hukum tentang kebijakan pengesampingan perkara pidana dengan alasan demi kepentingan umum dalam undang-undang?; Bagaimanakah pemaknaan alasan demi kepentingan umum dalam praktik penanganan perkara pidana yang dikesampingkan oleh Jaksa Agung?; Bagaimanakah bentuk-bentuk keputusan hukum dari pengesampingan perkara pidana dengan alasan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung dan implikasi yuridisnya bagi status hukum tersangka?. Penelitian ini termasuk tipologi penelitian hukum normatif. Data penelitian ini dikumpulkan dengan studi dokumen/pustaka dan wawancara kepada beberapa pakar hukum sebagai narasumber, kemudian bahan hukum tersebut dianalisis secara deskriptif- kualitatif yaitu penguraian data-data yang diperoleh dalam penelitian tersebut digambarkan dan ditata secara sistematis dalam wujud uraian-uraian kalimat yang diambil maknanya sebagai pernyataan atau kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 (dua belas) perkara yang telah dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan umum, sebanyak 75% telah sesuai dengan kepentingan umum dan 25% bernuansa politis. Selain itu, terdapat 3 (tiga) bentuk keputusan hukum yang telah digunakan yaitu SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), Keputusan, dan Penetapan dengan implikasi status hukum tersangka dikesampingkan (dihapus) karena kehendak kepentingan umum. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kelemahan terhadap pengaturan praktik pengesampingan perkara pidana dengan alasan demi kepentingan umum tersebut, mencakup 1) tafsiran demi kepentingan umum masih abstrak, global, dan multitafsir sehingga mudah diintervensi pemaknaannya secara politik; 2) Undang-undang tidak mengatur bentuk keputusan hukum pengesampingan perkara demi kepentingan umum, begitu pula Jaksa Agung dalam praktik tidak memberikan parameter yang tegas dan jelas mengenai reasoning pemilihan bentuk keputusan hukum tertentu, sehingga praktik kedepan Jaksa Agung dapat memilih bentuk keputusan hukum lain. | en_US |