dc.description.abstract | Penetapan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 memiliki pengaruh besar dalam
praktik beneficial owner di Indonesia. Akan tetapi, regulasi tersebut perlu dianalisis
secara kritis, karena pengaturan yang kurang komprehensif dan menimbulkan celah
hukum. Secara khusus riset ini mengangkat masalah kesesuaian pengaturan beneficial
owner pada badan hukum Koperasi yang dinyatakan PKPU. Penelitian kualitatif ini
dianalisis secara deskriptif-analitis, dengan menggunakan pendekatan normatif dan
pendekatan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidaksesuaian pengaturan beneficial owner, khususnya pada badan hukum Koperasi
yang dinyatakan PKPU. Selain itu, eksistensi UU Koperasi yang sudah “usang” dan
adanya pembiaran terhadap koperasi yang menjalankan fungsi perbankan berupa
penghimpunan dana masyarakat tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam
praktik bahkan dapat ditemukan pemilik manfaat secara leluasa menggunakan koperasi
untuk melakukan perbuatan melawan hukum dan memperoleh perlindungan hukum
melalui putusan PKPU, yang juga dimanfaatkan untuk mencoba melepaskan diri dari
tanggung jawab pidana. Untuk itu, perlu adanya penguatan transparansi dalam
pelaporan pemilik manfaat (beneficial owner) baik dalam organ koperasi maupun yang
tidak terlibat langsung dalam koperasi. Sehingga akan jelas merujuk kepada siapa
pihak yang berwenang atau aparat penegak hukum (APH) meminta
pertanggungjawaban. Terlebih jika prosedur perdata (termasuk perkara niaga pailit dan
PKPU) dan pidana ditempuh secara bersamaan. Pada akhirnya, perlu dipertimbangkan pertanggungjawaban mana yang harus dikedepankan demi memulihkan hak para pihak
yang dirugikan. | en_US |