Show simple item record

dc.contributor.authorSaleh, Nurkiswah
dc.date.accessioned2024-06-21T03:14:34Z
dc.date.available2024-06-21T03:14:34Z
dc.date.issued2024
dc.identifier.uridspace.uii.ac.id/123456789/50159
dc.description.abstractIndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebesar 17.508 pulau dan dihuni lebih dari 360 suku bangsa serta adat dan istiadat yang berbeda-beda. Begitupun saat melangsungkan perkawinan setiap daerah dipenuhi dengan suasana adat yang sangat kental dan beraneka ragam pada setiap prosesnya. Perkawinan masih dilakukan secara adat istiadat karena perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Di Lembata, mahar biasa disebut dengan kata “belis” oleh orang-orang suku lamaholot, yang artinya pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan yang mana pemberian ini dianggap sebagai menghargai pihak perempuan. Mahar atau belis ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam struktur sosial masyarakat. Tanpanya, konsep pernikahan dalam konteks budaya akan kehilangan substansinya. Dapat disimpulkan bahwa masalah dalam penentuan nilai belis di Desa Riangbao memiliki potensi sebagai hambatan bagi pelaksanaan pernikahan. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti terkait belis yang sejalan dengan prinsip syariat islam serta menelaah dari perspektif hukum islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan gading gajah sebagai mahar kawin dan pelaksanaan perkawinan adat dengan mahar gading gajah. Metode penelitian menggunakan penelitian lapangan. Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang adat istiadat di Desa Riangbao Hasil penelitian ini membahas tentang Pelaksanaan tradisi belis pada masyarakat Ile Ape desa Riangbao di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, dimulai dengan proses seremonial serta pentingnya memastikan bahwa sumber gading gajah tersebut diperoleh dengan cara yang sah menurut ajaran agama islam tanpa merugikan lingkungan atau melanggar prinsip-prinsip keadilan. Sehingga penetapan besaran mahar ini tidak bertentangan dengan hukum islam. Karena didalam islam tidak ada batasan maksimal dan minimal tentang jumlah mahar. Di dalam kaidah fiqh juga dijelaskan bahwa adat atau kebiasaan masyarakat bisa dijadikan sebagai sandaran hukum (Al’adatu Muhakkamah). Selain itu tradisi belis mengikuti prinsip silaturahmi yang dijunjung tinggi dalam islam. Dengan demikian integrasi nilai-nilai dan semangat agama islam dalam tradisi lokal menjadi bukti konkret bahwa keduanya dapat harmonis beriringan, menciptakan kesinambungan yang menguatkan tali persaudaraan serta keberlangsungan nilai-nilai kultural dalam bingkai ajaran islam.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectGading Gajahen_US
dc.subjectMaharen_US
dc.subjectPerkawinanen_US
dc.titleGading Gajah Sebagai Mahar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan di Kecamatan Ileape Desa Riangbao NTT)en_US
dc.typeThesisen_US
dc.Identifier.NIM17421207


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record