Gading Gajah Sebagai Mahar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan di Kecamatan Ileape Desa Riangbao NTT)
Abstract
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
pulau sebesar 17.508 pulau dan dihuni lebih dari 360 suku bangsa serta adat dan
istiadat yang berbeda-beda. Begitupun saat melangsungkan perkawinan setiap
daerah dipenuhi dengan suasana adat yang sangat kental dan beraneka ragam pada
setiap prosesnya. Perkawinan masih dilakukan secara adat istiadat karena
perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Di Lembata, mahar biasa disebut
dengan kata “belis” oleh orang-orang suku lamaholot, yang artinya pemberian dari
calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan yang mana
pemberian ini dianggap sebagai menghargai pihak perempuan. Mahar atau belis ini
memiliki peran yang sangat signifikan dalam struktur sosial masyarakat. Tanpanya,
konsep pernikahan dalam konteks budaya akan kehilangan substansinya. Dapat
disimpulkan bahwa masalah dalam penentuan nilai belis di Desa Riangbao
memiliki potensi sebagai hambatan bagi pelaksanaan pernikahan. Sehingga penulis
tertarik untuk meneliti terkait belis yang sejalan dengan prinsip syariat islam serta
menelaah dari perspektif hukum islam.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan gading
gajah sebagai mahar kawin dan pelaksanaan perkawinan adat dengan mahar gading
gajah. Metode penelitian menggunakan penelitian lapangan. Manfaat penelitian ini
adalah untuk menambah pengetahuan tentang adat istiadat di Desa Riangbao Hasil
penelitian ini membahas tentang Pelaksanaan tradisi belis pada masyarakat Ile Ape
desa Riangbao di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, dimulai dengan
proses seremonial serta pentingnya memastikan bahwa sumber gading gajah
tersebut diperoleh dengan cara yang sah menurut ajaran agama islam tanpa
merugikan lingkungan atau melanggar prinsip-prinsip keadilan. Sehingga
penetapan besaran mahar ini tidak bertentangan dengan hukum islam. Karena
didalam islam tidak ada batasan maksimal dan minimal tentang jumlah mahar. Di
dalam kaidah fiqh juga dijelaskan bahwa adat atau kebiasaan masyarakat bisa
dijadikan sebagai sandaran hukum (Al’adatu Muhakkamah). Selain itu tradisi belis
mengikuti prinsip silaturahmi yang dijunjung tinggi dalam islam. Dengan demikian
integrasi nilai-nilai dan semangat agama islam dalam tradisi lokal menjadi bukti
konkret bahwa keduanya dapat harmonis beriringan, menciptakan kesinambungan
yang menguatkan tali persaudaraan serta keberlangsungan nilai-nilai kultural dalam
bingkai ajaran islam.
Collections
- Islamic Law [703]