Pertimbangan Hakim dalam Perkara Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Sanggau Perspektif Maqāṣid Imam Asy-syātibī
Abstract
Perubahan batas usia perkawinan atas berlakunya Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 memberikan dampak besar terhadap penerimaan perkara
dispensasi kawin di lingkungan badan peradilan agama, termasuk pada Pengadilan
Agama Sanggau. Pada tahun 2019 penerimaan perkara dispensasi kawin sejumlah
28 perkara, namun meningkat secara tajam pada tahun 2020 penerimaan perkara
dispensasi kawin sejumlah 111 perkara dan meningkat kembali menjadi 139
perkara pada tahun 2021. Peningkatan penerimaan perkara ini penting untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut karena dari 139 perkara yang didaftarkan di
Pengadilan Agama Sanggau, terdapat 127 perkara dikabulkan dan hanya 12
perkara tidak dikabulkan, dengan rincian 2 perkara ditolak dan gugur serta 8
perkara dicabut. Tujuannya, untuk mengetahui pertimbangan para hakim di
Pengadilan Agama Sanggau dalam megabulkan perkara dispensasi kawin. Dari
segi yuridis normatif, banyaknya perkara dispensasi kawin yang dikabulkan tentu
tidak sejalan dengan semangat peraturan perundang-undangan tersebut yang ingin
menekan angka perkawinan usia anak. Namun penulis akan menganalisis lebih
lanjut terkait pertimbangan para hakim tersebut dari perspektif maqāṣid Imam
Asy-Syātibī. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menfokuskan
pada pemikiran para hakim dalam mengabulkan perkara dispensasi kawin
sehingga penelitian ini termasuk dalam penelitian isi (content analysis) atau dalam
metode penelitian hukum disebut juga dengan penelitian hukum normatif. Adapun
sumber data yang digunakan yaitu sumber data sekunder dengan bahan hukum
berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 serta penetapan hakim perkara
dispensasi kawin. Sedangkan bahan hukum sekunder dan tersier berupa peraturan
perundang-undangan terkait perkara dispensasi kawin dan karya ilmiah berupa
artikel pada jurnal atau karya ilmiah lainnya serta berbagai literatur lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan
terhadap “alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”
oleh para hakim dapat terpenuhi jika fakta persidangan menunjukkan adanya
hubungan kedua calon mempelai yang sudah dekat, tidak ada paksaan serta
keduanya sudah mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Adapun
konsep yang dipakai yaitu konsep maslahah (kebaikan) dan mafsadah
(kerusakan). Hal tersebut didasari fakta bahwa terdapat hubungan keduanya calon
mempelai yang sudah dekat sehingga ditakutkan terjerumus dalam perbuatan zina.
Dalam perspektif Asy-Syātibī, pertimbangan para hakim tersebut termasuk dalam
bentuk maqāṣid syariah dalam rangka menjaga agama sehingga harus didahulukan
dan ditegakkan diatas kemaslahatan lainnya demi terwujudnya kemaslahatan
dunia dan akhirat.