PLACEMAKING: Antara FAKTA, MAKNA, dan AKSI
Abstract
Keterbengkalaian lahan, belum termanfaatkannya ruang secara maksimal,
gagalnya lahan/ruang untuk aktivitas, juga terhadap bangunan serta kawasan, masih
menggejala di Indonesia. Ironinya, keterbatasan lahan di lingkungan tempat tinggal juga
masih terjadi khususnya di kawasan perkotaan, sehingga mengakibatkan tingginya harga
lahan yang berujung kepada menciutnya luas lahan untuk satuan unit rumah tinggal demi
mengejar keterjangkauan harga kepemilikan rumah. Kondisi tersebut memicu munculnya
peristiwa placemaking. Terkilah oleh tidak terpakainya ruang di area padat, secara
spontan individual maupun komunitas memanfaatkan lahan/ruang “terbengkalai”
tersebut untuk melakukan aktivitas sebagai pengisi keseimbangan berkehidupan. Secara
“blessing in disguisse” lahan/ruang terbengkalai yang tadinya pasif dan mati, justru
menjadi hidup dan terbangun aktivitas yang bermanfaat. Ruang pun lebih bermakna dan
bernilai, baik secara sosial, ekonomi, budaya, edukatif, bahkan ekologis. Pengalaman
positif ini banyak diidentifikasi, ditemukan, dielaborasi, dan dipublikasikan oleh para
Peneliti placemaking. Temuan kajian dapat dijadikan dasar pertimbangan para
Pemangku/Penentu kebijakan yang berkepentingan dan berwewenang untuk
menindaklanjutinya sebagai aksi dalam bentuk penataan pembangunan. Melalui
sejumlah pengalaman penelitian dan kajian tentang placemaking yang telah Penulis
lakukan, paper ini diformulasikan dengan metode diskriptif analitis. Hasil kajian
menemukan 4 poin utama. Pertama adalah bahwa placemaking tumbuh atas motivasi
pendorong (kebutuhan manusia) dan penarik (kondisi setting/ruang). Kedua, ruang yang
terbangun sebagai placemaking memberikan hasil yang maknawi baik secara psikologis,
ekonomis, ekologis, dan edukatif. Ketiga, bahwa makna yang terkandung menghasilkan
nilai manfaat secara faktual dan alamiah. Hal ini membutuhkan komitmen yang bijaksana
bagi stakeholders khususnya para Pemangku Kebijakan. Keempat, dalih “pembangunan”
sebagai aksi tindak lanjut fenomena placemaking diharapkan menjadi konsideran yang
mengutamakan “people” sebagai aktor sasaran, agar nafas “kehidupan” yang telah
dibangun masyarakat tetap berkelanjutan dengan asas berkeadilan. Dengan demikian,
semangat dari sosial, untuk sosial, dan oleh sosial tetap bergaung, melekat, dan
menggairahkan dalam kehidupan berplacemaking.