Show simple item record

dc.contributor.authorRaharjo, Wiryono
dc.date.accessioned2023-04-04T07:07:43Z
dc.date.available2023-04-04T07:07:43Z
dc.date.issued2016-07-23
dc.identifier.issn2528-4622
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/43081
dc.description.abstractIndonesia memiliki garis pantai 99,000 km - terpanjang di dunia setelah Kanada. Di sepanjang pantai itu berdiri kota-kota yang menjadi titik awal masuknya berbagai pengaruh budaya luar sejak ratusan tahun yang lalu. Di Jawa, selain kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya; Cirebon menjadi titik masuk penting pengaruh budaya luar, yang membentuk citra kota maritim tersebut sebagai kota hibrida dari aspek budaya. Ada warga Cina yang telah bermukim di Cirebon dan pantai utara Jawa (Pantura) sebelum kehadiran VOC, bahkan selain etnis Cina, Cirebon pada masa itu telah dihuni etnis India, Parsi, Siria, Arab, Sunda, Jawa, dan Sumatra, yang membuat karakter Cirebon makin multikultural (Solikhah, 2015). Ko-eksistensi beragam budaya tersebut juga dialami Bali sejak ratusan tahun silam. Sebagaimana ditulis oleh Pigeaud dalam Nordholt (1992), kerajaan Majapahit telah melakukan invasi pada tahun 1343. Pada abad 17, pengaruh VOC di wilayah pesisir utara juga mulai terlihat. Namun catatan VOC menunjukkan bahwa Cina, Muslim, dan bahkan Spanyol serta Portugis telah hadir di Bali sebelum kedatangan VOC itu sendiri (Vickers, 1987). Semua peristiwa tersebut tentu berpengaruh terhadap eksistensi arsitektur di kawasan tersebut. Selain itu dalam perkembangannya, kehadiran globalisasi arsitektur di era modern - yang di klaim Hardy (2003) sebagai “nir-budaya” (cultureless) - tentu ikut memberikan kontribusi signifikan terhadap dinamika perubahan lansekap arsitektur di kota-kota tersebut. Pertanyaan yang akan direspon oleh makalah ini adalah, bagaimana menjelaskan hubungan antara fenomena multikulturalisme tersebut dengan produksi arsitektur? Dimana posisi arsitek dalam konstelasi multikulturalisme tersebut? Penulis mencoba untuk menelaah fenomena tersebut menggunakan teori assemblage. Teori ini merupakan intepretasi kritis yang dilakukan oleh DeLanda (2007) dan beberapa cendekiawan lain (misalnya Dovey, 2010; Anderson et al, 2012) terhadap teori assemblage karya Deleuze dan Guattari (1987), yang secara khusus diarahkan untuk memahami kompleksitas hubungan sosial masyarakat dengan ruang kehidupannya.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.relation.ispartofseriesSakapari 1;
dc.subjectassemblageen_US
dc.subjectmultikulturalisme arsitekturen_US
dc.subjectteritorialisasien_US
dc.subjectdeteriorialisasien_US
dc.titleMULTIKULTURALISME ARSITEKTUR DALAM PERSPEKTIF TEORI ASSEMBLAGEen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record