Show simple item record

dc.contributor.advisorMasyhud Asyhari, SH. M.Kn
dc.contributor.authorIlfa Diyanawati Tafkir
dc.date.accessioned2021-08-20T03:25:21Z
dc.date.available2021-08-20T03:25:21Z
dc.date.issued2007
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handlet/123456789/31828
dc.description.abstractTanah merupakan suatu benda yang tidak bergerak dan mempunyai nilai tinggi, bahkan tahun ke tahun nilainya semakin meningkat karena kebutuhan masyarakat yang sudah semakin kompleks sehingga menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks pula mengenai kepemilikan tanah tersebut. Di dalam dunia hukum Indonesia, kita dihadapkan pada suatu tantangan untuk dapat menciptakan kerangka landasan hukum dalam rangka pembentukan perangkat hukum. Tuntutan akan adanya perangkat hukum yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang sedang melangkah ke ambang modernisasi perlu mendapat perhatian kita semua. Salah satu pemenuhan dari tuntutan tersebut adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Kita sering mendengar adanya perselisihan tentang kepemilikan tanah, terutama yang belum memiliki sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang bersangkutan. Ini merupakan salah satu contoh persoalan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia yang tentunya mempengaruhi atas tertibnya jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah di Indonesia. Berbicara masalah pendaftaran tanah tentunya kita tidak bisa terlepas dari sistem pendaftaran ini sendiri. Pada prinsipnya terdapat tiga sistem cara pendaftaran tanah, yaitu sistem Torrens, sistem Negatif dan sistem Positif. Tersebut di dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA bahwa sistem pendaftaran tanah di Negara kita menganut sistem negatif, dengan demikian segala apa yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, tetapi dalam praktek sering timbul permasalahan yang timbul sehubungan dengan dianutnya sistem negatif. Ini terbukti dengan tumpang tindihnya sertifikat hak atas sebidang tanah yang akhirnya untuk memperoleh kepastiannya harus melalui jalur Pengadilan. Pada dasarnya penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa konsekuensi adanya pendaftaran hak atas tanah dengan sistem negatif dan bagaimanakah upaya yang dilakukan apabila timbul masalah dari sistem negatif ditinjau dari peraturan yang berlaku yaitu Undang-undang Pokok Agararia (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di Indonesia.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanahen_US
dc.subjectSistem Negatif Beserta Akibatnya Di Kota Jogjakartaen_US
dc.titlePelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Dengan Sistem Negatif Beserta Akibatnya di Kota Jogjakartaen_US
dc.Identifier.NIM00410118


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record