Show simple item record

dc.contributor.advisorDr. Idul Rishan, S.H., LL.M
dc.contributor.author16410363 MUHAMMAD ADDRES AKMALUDDIN
dc.date.accessioned2021-08-04T05:30:01Z
dc.date.available2021-08-04T05:30:01Z
dc.date.issued2020
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/123456789/31309
dc.description.abstractDiundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menimbulkan polemik di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan pembentukan undang-undang tersebut yang tergesa-gesa dan materi muatannya yang kontroversial. Bahwa berdasarkan hal tersebut menarik untuk dikaji terkait politik hukum yang melatar belakangi perubahan Undang-Undang KPK serta bagaimana implikasi perubahan tersebut terhadap independensi KPK. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini bahwa politik hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tercerminkan dalam tujuh aspek. Pertama, secara kelembagaan KPK ditempatkan sebagai bagian dari rumpun eksekutif dikarenakan mengindahkan putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017 serta agar mudah dilakukana pengawasan sesuai dengan prinsip check and balances. Kedua, dalam hal penyadapan terdapat penghapusan mekanisme keadaan mendesak dan beralihnya kewenangan pemberian izin penyadapan yang semula dari pengadilan, kemudian diberikan kepada Dewan Pengawas. Hal ini dikarenakan adanya maksud dari pembentuk undang-undang dalam menegakkan prinsip kesetaraan di depan hukum serta perlindungan terhadap privasi subyek penyadapan. Ketiga, mempertahankan kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh KPK namun harus disertai koordinasi dengan lembaga lainnya. Hal ini dikarenakan pembentuk undang-undang mengacu pada ICAC Hongkong, namun hal yang diambil ialah ruh agar tidak terjadi keswenang-wenangan. Keempat, memberikan kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3 sebagai alat kontrol apabila terjadi kesalahan dalam proses penyidikan dan penyelidikan oleh penyedik KPK sehingga lebih menjamin hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah. Kelima, pembatasan pelimpahan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap KPK guna memberikan batas yang jelas terkait kasus mana yang harus dan tidak harus ditangani oleh KPK, sehingga KPK dapat fokus kepada kasus korupsi yang seharusnya ditangani olehnya. keenam, pembentukan dewan pengawas. Hal ini merupakan implementasi dari Pasal 5 UNCAC yakni kewajiban negara pihak untuk mengembangkan kebijakan anti korupsi yang efektif serta fakta dari pansus angket dalam aspek kelembagaan dan kewenangan, menemukan fakta bahwa pengawasan secaara internal tidak efektif dalam mengawasi KPK. Ketujuh, pementuk undang-undang menguatkan fungsi pencegahan KPK dikarenakan dalam beberapa kasus KPK telah menyadari adanya upaya suap terhadap penyelenggara negara namun, KPK justru justru membiarkan hal tersebut hingga terjadi tindakan suap agar KPK dapat melakukan OTT. Terdapat dampak terhadap independensi KPK yang tercermin dalam dua aspek yakni pertema, independensi kelembagaan. Bahwa dengan masuknya KPK sebagai eksekutif maka membuka peluang intervensi yang besar oleh kekuasaan. Kedua, hadirnya dewan pengawas telah merusak due process of law dikarenakan kewenangan memberikan perizinan terhadap penyadapan. Kata Kunci: Politik hukum, Perubahan Undang-Undang KPKen_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPolitik hukumen_US
dc.subjectPerubahan Undang-Undang KPKen_US
dc.titlePolitik Hukum dan Dampak Perubahan UU 19 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsien_US
dc.Identifier.NIM16410363


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record