dc.description.abstract | Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensil, dalam sistem ini Presiden mempunyai hak prerogatif untuk
memutuskan dan membuat kebijakan sesuai yang tertuang di dalam UUDNRI
1945. Salah satu hak prerogatif tersebut adalah kewenangan dalam pemberian
Grasi yang tidak bersifat absolut. Dengan adanya perubahan UUD 1945, maka
kekuasaan ini tidak lagi bersifat mandiri lagi karena dilakukan dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Adapun permasalahan yang
diangkat yaitu, Bagaimana hak prerogatif Presiden dilihat dari sudut pandang ilmu
hukum tata negara ? apa yang menjadi permasalahan di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi dan bagaimana hukum Islam memandang hak prerogatif
seorang kepala negara. Oleh karena itu, penulis melakukan studi tentang
pemberian grasi terhadap terpidana hukuman mati perspektif hukum positif dan
hukum islam. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan yuridis dan historis. Dari penelitian ini ditemukan sejumlah temuan.
Pertama, Menurut ilmu hukum tata negara bahwa di dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia kekuasaan seorang Presiden tidaklah absolut dengan tetap diawasi
oleh lembaga negara lain dengan tetap menjalankan mekanisme checks and
balances Kedua, Hukum Islam tidaklah mutlak melarang pemaafan hukuman atau
Grasi oleh seorang kepala Negara. Grasi dibolehkan dalam konteks pertimbangan
dan terutama untuk kemaslahatan masyarakat. Hanya hukuman-hukuman yang
tidak berat serta tidak membahayakan kepentingan banyak orang yang boleh
diampuni. Dan untuk seseorang yang telah terbukti melakukan pembunuhan
tidaklah ada hak Kepala Negara untuk mengampuni hukuman. | en_US |