PENCALONAN PEMILIHAN KEPALA DESA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 128/PUU-XIII/2015
Abstract
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan agenda rutin yang biasa digelar dalam sebuah sistem demokrasi pada pemerintahan desa. Hal ini merupakan wujud demokrasi lokal, yaitu pelaksanaan demokrasi pada tingkat pemilihan kepala desa, pelaksanaan pemilihan kepala desa secara demokratis menjanjikan terwujudnya pemerintahan yang representatif. UU No. 6 Tahun 2014 mensyartkan pencalonan kepala desa pada Pasal 33 huruf (g)adalah berdomisili di desa setempat atau paling kurang bertempat tinggal sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
128/PUU-XIII/2015 telah mengabulkan permohonan pemohon (APDESI), pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat desa dan tidak mensyaratkan harus berdomisili didesa setempat. Berdasarkan penjabaran di atas maka penulis mengambil rumusan permasalan sebagai berikut: Bagaimana konsep pencalonan pemilihan kepala desa sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015?Bagaimana konsep pencalonan pemilihan kepala desa sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015? Apa implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015 tersebut terhadap pencalonan pilkades? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pencalonan pemilihan kepala desa sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 128/PUU-XIII/2015 dan implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 128/PUU-XIII/2015 terhadap pencalonan pemilihan kepala desa. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif berupa kajian pustaka yang dilakukan dengan penelusuran bahan bahan hukum primer dan sekunder, yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum lainnya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa syarat pencalonan kepala desa sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015 (UU No. 5 Tahun 1979 dan UU No. 6 Tahun 2014) mempunyai syarat yang sama yang dimana harus berasal dari desa tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
128/PUU-XIII/2015, tidak sejalan dengan fungsi MK dan Pasal 28J ayat (1), ayat (2) dan Pasal 18B ayat (2) yang memberikan pembatasan untuk menjamin atas hak dan nilai-nilai moral, agama dan ketertiban umum. Dimana negara mengakui masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Di Indonesia ini masih banyak desa yang masih menggunakan hukum adat dalam hal-hal mengenai kepentingan desa, dimana banyak desa yang masih menggunakan trah dan turunan dalam hal menjabat kepala desa. Pasal 33 huruf (g) UU No. 6 Tahun
2014 menjadi inkonstitusional, sedangkan Pemerintah dan DPR belum menanggapi hasil Putusan MK tersebut. Beberapa daerah tidak berani membuat perda berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 128/PUU-XIII/2015 dan menunggu regulasi atau Permendagri yang baru sedangkan daerah yang lainnya sudah mengubah perda sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
128/PUU-XIII/2015.
Collections
- Law [2357]