Gejala Klinis Dan Laboratoris Sebagai Prediktor Terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS) Pada DBD Anak Di RSUD Wonosari Kabupaten Gunung Kidul
Abstract
Angka kejadian Demam Berdarah Dengue terus bertambah dari
tahun ke tahun dengan angka mortalitas yang tetap tinggi dan akan meningkat bila
DBD telah berkembang menjadi Dengue Shock Syndrome (DSS). Pengenalan
dini terhadap kemungkinan timbulnya syok menjadi hal yang amat penting untuk
mencegah memburuknya penyakit sehingga dapat menurunkan angka kematian.
Metode: Penelitian ini merupakan studi cross sectional. Subjek penelitian adalah
pasien anak yang terdiagnosis DBD dan DSS menurut kriteria WHO (ICDX
A91.X, R57.8) yang dirawat di RSDUD Wonosari, Gunungkidul pada Agustus
2009-Agustus 2011. Data diambil dari rekam medis pasien berupa gejala klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Data kemudian dianalisis secara bivariat dan
multivariat untuk mencari faktor prediktor terjadinya syok pada DBD.
Hasil: Selama periode penelitian, didapatkan 64 kasus DBD dan 64 kasus DSS
menurut kriteria diagnosis WHO. Nyeri kepala, nyeri perut, perdarahan gusi, mual
muntah, asites, edema palpebra, melena, mimisan, efusi pleura, nilai Hb >15%,
nilai Hmt >45% dan AT ≤50.000 dapat meningkatkan risiko kejadian DSS. Dari
analisis multivariat diperoleh bahwa nyeri perut, asites, melena dan Hmt >45%
merupakan faktor prediktor terjadinya syok pada kasus DBD.
Simpulan: Terdapat empat faktor yang dapat memprediksi terjadinya syok pada
kasus DBD anak, yaitu nyeri perut (p=0,003; OR 0,155; CI OR 0,045-0,533),
asites (p=0,000; OR 0,037; CI OR 0,007-0,192), melena (p=0,005; OR 0,088; CIOR 0,016-0,487) dan nilai hematokrit >45% (p=0,000; OR 0,054; CI-OR 0,019-
0,152).
Collections
- Medical Education [2279]