Show simple item record

dc.contributor.authorRizani, Raisa
dc.date.accessioned2017-01-19T03:20:27Z
dc.date.available2017-01-19T03:20:27Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/2019
dc.description.abstractSalah satu dari perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah bentuk negara kesatuan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah. Dalam konsep desentralisasi mengenal adanya desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris ini sebagai bentuk untuk mengakomodir daerah-daerah khusus maupun daerah istimewa yang ada di Indonesia salah satunya adalah Provinsi DIY. Pemberian status tersebut dilatar belakangi oleh kedudukan hukum yang dimiliki oleh Daerah Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul. Dari beberapa hal yang dikategorikan sebagai istimewa yang dimiliki oleh DIY, hal yang paling menyita banyak perhatian adalah berkaitan dengan tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang gubernur dan wakil gubernur. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut, maka sejatinya mereka memiliki hak prerogratif. Begitu juga dengan seorang Sultan sebagai Raja yang bertahta di Kasultanan Yogyakarta.Akhir-akhir ini mencuat berita tentang dikeluarkannya Sabdatama dan Sabdaraja oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang saat ini sedang menjabat sebagai Gubernur DIY. Sabdatama dan Sabdaraja merupakan pernyataan raja atas sebuah kebijakan yang harus disampaikan kepada rakyat. Sabdatama dan Sabdaraja tersebut menimbulkan pro dan kontra baik dari kalangan internal maupun eksternal keraton. Berangkat dari hal tersebut, maka muncul pertanyaan: Pertama, Bagaimana mekanisme pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?; Kedua, Apa implikasi yuridis dengan dikeluarkannya Sabdatama dan Sabdaraja terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif. Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan historis dan pendekatan peraturan perundang-undangan.Jenis data yang digunakan adalah bahan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan wawancara. Data yang terkumpul kemudian dianalisa melalui analisa deskriptif kualitatif. Hasil analisis dari penelitian ini menyatakan bahwa: Pertama, status keistimewaan yang dimiliki oleh DIY membanwa konsekuensi terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Kedua, isi dari Sabdatama dan Sabdaraja bertentangan dengan UU Keistimewaan dan tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan serta bukan merupakan sumber hukum tata negara. Sehingga Sabdatama dan Sabdaraja tidak tepat jika dijadikan dasar untuk merubah UU Keistimewaan karena tidak memiliki legitimasi di lingkungan pemerintahan. Agar isi dari Sabdatama dan Sabdaraja tersebut dapat diakui, maka Sultan Hamengku Buwono X dapat mengajukan perubahan UU Keistimewaan kepada DPR RI sebagai pihak yang berwenang dalam membuat undang-undang.en_US
dc.publisherUIIen_US
dc.relation.ispartofseriesTugas Akhir;
dc.subjectOtonomi Daerahen_US
dc.subjectDesentralisasi Asimetrisen_US
dc.subjectUU Keistimewaanen_US
dc.subjectSabdatama dan Sabdarajen_US
dc.titleImplikasi Hukum Diterbitkannya Sabdatama dan Sabdaraja oleh Sultan Hamengku Buwono X Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakartaen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record