PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM PEMBERIAN IZIN POLIGAMI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT DI PENGADILAN AGAMA CILACA
Abstract
Asas monogami yang terkandung dalam hukum perkawinan di Indonesia tidak serta merta menutup ruang terjadinya poligami. Penggunaan istilah poligami ditarik dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar hukum diperbolehkannya poligami di Indonesia. Adapun untuk mengajukan permohonan izin poligami terhadap Pengadilan Agama haruslah memenuhi ketentuan alasan dan syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Permasalahan timbul manakala dalam praktek, tidak terpenuhinya ketentuan alasan dan/atau syarat pengajuan permohonan izin poligami tidak sejalan dengan putusan yang diberikan oleh Pengadilan. Bahwa penelitian ini akan menganalisis dikabulkannya putusan perkara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Cilacap yang ketentuan alasan dan/atau syaratnya tidak terpenuhi. Objek penelitian akan mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara sebagaimana tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris yang menitikberatkan pada penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap subjek penelitian, yakni hakim Pengadilan Agama Cilacap yang pernah mengabulkan perkara permohonan izin poligami yang tidak memenuhi ketentuan alasan dan/atau syaratnya. Hasil wawancara kemudian di selaraskan dengan bahan hukum sekunder yang telah didapatkan melalui studi kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan terkait dan yurisprudensi berkaitan dengan objek penelitian serta beberapa putusan permohonan izin poligami sebagai referensi. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, terungkap fakta bahwa hakim atau majelis hakim telah menyadari bahwa terkait permohonan izin poligami tidak memenuhi ketentuan alasan sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Namun demi mewujudkan putusan yang berkeadilan, hakim dengan pengetahuan dan nuraninya melakukan contra legem. Contra legem merupakan bentuk lain dari penemuan hukum, yakni asas yang memberikan kewenangan terhadap hakim untuk mengesampingkan ketentuan Undang-Undang apabila dirasa tidak memberikan rasa keadilan kepada para pihaknya. Hakim kemudian mendasarkan pertimbangannya pada Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa “menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat”, yang sejalan dengan ketentuan QS An-Nisa ayat 3. Keteguhan hakim tetap mengabulkan perkara permohonan izin poligami yang tidak memenuhi ketentuan alasan utamanya didukung dengan telah dipenuhinya ketentuan syarat sebagaimana Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan secara seluruhnya, terutama huruf a mengenai telah adanya Persetujuan dari istri-istri. Menilik hasil penelitian, persetujuan istri tersebut merupakan indikator utama tetap dikabulkannya permohonan izin poligami yang tidak memenuhi ketentuan alasan sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Collections
- Law [2308]