Show simple item record

dc.contributor.advisorSri Hastuti Puspitasari, S.H., M,H.
dc.contributor.authorLATIFAH OKTAFIANI, 14410041
dc.date.accessioned2019-03-20T06:48:10Z
dc.date.available2019-03-20T06:48:10Z
dc.date.issued2019-02-21
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/14274
dc.description.abstractPenelitian dengan judul “Implikasi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 Terhadap Kewenangan DPR dalam Melakukan Pemanggilan Paksa”ini berisi 2 (dua) buah rumusan masalah berupa: 1. Apa dasar argumentasi hakim konstitusi dalam memutus perkara pemanggilan paksa dalam Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018; 2. Bagaimana implikasi pembatalan kewenangan DPR dalam melakukan pemanggilan paksa terhadap fungsi pengawasan DPR. Penelitian ini disusun menggunakan dua jenis pendekatan, yakni pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang. Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka dan dokumen, perundang-undangan, jurnal, sumber data elektronik yang valid dan berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018. Analisis dilakukan menggunakan pendekatan kasus dan perundang-undangan dengan menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Pertama, pemanggilan paksa yang diatur dalam Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU Nomor 2 Tahun 2018 tersebut dapat dieliminir dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses di DPR. Kedua, Pemanggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak dalam Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) tidak dibenarkan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif, melalui hak angket, karena fungsi pengawasan yang berupa hak angket bukan merupakan penegakan hukum. Ketiga, Kewenangan pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam praktiknya dilaksanakan oleh kepolisian akan menimbulkan persoalan baru sebab kepolisian hanya dapat melakukan pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam konteks penegakan hukum yang diatur KUHAP, sementara DPR tidak melaksanakan fungsi penegakan hukum. Selain itu alasan konstitusionalitas bahwa Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU Nomor 2 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 karena DPR adalah institusi yang mewakili rakyat maka sudah sepatutnya keputusan DPR didasarkan pada kepentingan rakyat, Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menurut MK dalam kedaulatan rakyat perlu ada penegakan supremasi konsitusi dimana demokrasi berdasar atas UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, dan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 karena wakil rakyat terpilih di DPR adalah representasi rakyat yang sifat hubungannya horizontal, dan prinsip perwakilan tersebut tidak sepatutnya berjauhan dengan pihak yang diwakili 2. DPR tidak lagi memiliki kewenangan pemanggilan paksa dan sandera ke warga negara. DPR hakikatnya adalah lembaga legislatif, pengaturan norma yang menjauhkan dari gagasan kedaulatan rakyat dan tidak memberikan ruang komunikasi antara DPR dan rakyat artinya menutup kemerdekaan menyampaikan pendapat secara lisan dan tertulis. Fungsi pengawasan tetap dalam konteks pelaksanaan hak angket sebagai upaya untuk mengawasi eksekutif dalam melaksanakan undang-undang.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPutusan MKen_US
dc.subjectKewenangan DPRen_US
dc.subjectPemanggilan Paksaen_US
dc.titleIMPLIKASI PUTUSAN MK NOMOR 16/PUU-XVI/2018 TENTANG KEWENANGAN DPR DALAM MELAKUKAN PEMANGGILAN PAKSA (Studi Terhadap Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD)en_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record