KAWIN HAMIL DENGAN LAKI-LAKI BUKAN YANG MENGHAMILI PADA KUA KECAMATAN PIYUNGAN KABUPATEN BANTUL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Abstract
Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan hukum pelaksanaan pencatatan perkawinan Islam di Indonesia pada Pasal 53 ayat (1) menyebutkan bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Dalam beberapa kajian terkait Pasal 53 tersebut menerangkan bahwa kebolehan itu hanya berlaku bagi laki-laki yang menghamili saja tidak bagi yang bukan menghamili. Didukung pula oleh pendapat sebagian ulama madzhab yang melarang pernikahan wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamili.
Telah terjadi pelaksanaan kawin hamil dengan laki-laki bukan yang menghamili di KUA Kecamatan Piyungan. Peristiwa ini tentu saja dianggap bertentangan dengan KHI Pasal 53 ayat (1) dan beberapa pendapat imam madzhab sehingga, yang menjadi fokus penelitian ini adalah Bagaimana pandangan ulama terhadap perkawinan wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya? dan Bagaimana pertimbangan PPN/Kepala KUA Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul dalam pelaksanaan pernikahan wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamili?
Penelitian ini berjenis penelitian lapangan (field research) dengan pola pendekatan yuridis dan normatif. Sampel penelitian ditentukan secara purposif (Purposive Sampling), yaitu penarikan sampel yang dilakukan oleh peneliti atas dasar pertimbangan pribadi, Data dikumpulkan dengan metode observasi, dokumentasi dan wawancara yang kemudian dianalisis menggunakan analisis kualitatif dengan metode analisis deduktif.
Hasil penelitian ini adalah : pertama, ulama madzhab berbeda pendapat mengenai sah tidaknya perkawinan wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamili. Imam Malik dan Imam Ahmad menganggap perkawinannya tidak sah sebagaimana wanita hamil pada umumnya yang mempunyai iddah haram menikah sebelum melahirkan. Sedangkan yang menganggap sah adalah Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah melarang menggaulinya sebelum melahirkan, sedangkan Imam Syafi'i membolehkan. Kedua, PPN/Kepala KUA Kecamatan Piyungan melaksanakan perkawinan wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamili berdasarkan pada kerelaan keduanya untuk menikah yaitu dengan menandatangani lembar persetujuan mempelai (model N3), dan pertimbangan kemaslahatan yang akan didapat oleh keduanya dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ada sosok laki-laki yang dianggap sebagai ayah yang siap untuk mendampingi, merawat, melindungi dan menafkahi keduanya.