Show simple item record

dc.contributor.advisorDr. Drs. Muntoha, S.H., M.ag
dc.contributor.authorADE MAZHAR AMIN BAHRI, 13410496
dc.date.accessioned2018-11-23T06:55:36Z
dc.date.available2018-11-23T06:55:36Z
dc.date.issued2018-10-19
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/11706
dc.description.abstractSalah satu syarat mutlak agar permohonan perkara perselisihan hasil pemilu (PHP) dapat diterima adalah ambang batas yang diatur pada pasal 158 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, yang mana setelah diterbitkannya aturan tersebut sebagian besar PHP yang diajukan ke MK tidak dapat diterima karena dinyatakan tidak memenuhi ambang batas PHP. Berdasarkan permasalahan tersebut Penulis tertarik untuk meneliti dengan rumusan masalah: 1) Bagaimana konsep pengaturan terkait ambang batas permohonan sengketa pilkada; dan 2) Apa implikasi yuridis pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terhadap pengajuan permohonan sengketa Pilkada. Sedang tujuannya adalah: 1) Untuk mengetahui konsep pengaturan terkait ambang batas permohonan sengketa Pilkada; dan 2) Untuk mengetahui apa implikasi yuridis pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terhadap pengajuan permohonan sengketa Pilkada. Untuk menjawab permasalahan tersebut Penulis menggunakan teori demokrasi dan teori pemilukada. Penelitian ini termasuk tipologi penelitian normatif (normatif legal research). Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka melalui pengkajian peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan objek penelitian. Analisis dilakukan melalui pendekatan Perundang-Undangan dipadukan pendekatan kasus dengan menggunakan metode deskriptif kualtatif, yakni mengelompokkan dan menyesuaikan data-data yang diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan yang signifikan dan ilmiah. Hasil penelitian dari permasalahan pertama, bagi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang ingin mengajukan permohonan sengketa Pilkada harus berpatokan pada jumlah penduduk di provinsi yang melakukan pemilukada dengan konsep ambang batas atau selisih suara 2% untuk provinsi yang jumlah penduduknya 2.000.000, 1.5% untuk provinsi yang jumlah penduduknya 2.000.000 sampai 6.000.000, 1% untuk provinsi yang jumlah penduduknya 6.000.000 sampai 12.000.000 dan 0,5% untuk provinsi yang jumlah penduduknya lebih dari 12.000.000. Untuk tingkat kabupaten/kota maka 2% untuk kabupaten/kota yang jumlah penduduknya 250.000, 1,5% untuk kabupaten/kota yang jumlah penduduknya 250.000 sampai 500.000, 1% untuk kabupaten/kota yang jumlah penduduknya 500.00 sampai 1.000.000, dan 0.5% untuk kabupaten kota yang jumlah penduduknya di atas 1.000.000. Sedangkan hasil penelitian dari permasalahan kedua, banyak daerah yang tidak dapat diterima oleh MK karena tidak memenuhi klausal konsep ambang batas. Kelemahan dari Undang-Undang ini adalah Undang-Undang hanya mengedepankan hukum formiil bahwa keadilan diberikan dengan angka-angka kalkulator yang dijelaskan pada pasal tersebut. Peneliitian ini merekomedasikan perlunya penyempurnaan dan pembaruan aturan hukum untuk Pilkada serentak 2027 sekaligus mempertimbangkan rasa keadilan bagi pasangan calon kepala daerah.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPemilukadaen_US
dc.subjectsengketaen_US
dc.subjectAmbang Batasen_US
dc.title“IMPLIKASI YURIDIS PASAL 158 AYAT (1) DAN AYAT (2) UNDANG - UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA TERHADAP PENGAJUAN PERMOHONAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH:”en_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record