Show simple item record

dc.contributor.advisorSaifudin, Dr., SH., MH.
dc.contributor.authorNUR ALFIAH HAMZAH, 14410652
dc.date.accessioned2018-10-26T07:24:12Z
dc.date.available2018-10-26T07:24:12Z
dc.date.issued2018-10-18
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/11405
dc.description.abstractMunculnya Pasal 9 huruf a Undang-Undang 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan salah satu wujud dan implementasi dari konsep demokrasi yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Hal demikian dikarenakan dalam proses Pemilihan Umum melibatkan lembaga negara yaitu Komisi Pemilihan Umum untuk menciptakan Pemilihan Umum yang ideal. Dari konsep pemilu tersebut, harapannya dapat memperoleh pemimpin yang memiliki kapasitas, integritas, kapabilitas dapat terpenuhi. Namun dalam kenyataannya bahwa hadirnya pasal tersebut menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut diakibatkan karena redaksi dalam Pasal 9 huruf a dianggap telah memangkas independensi Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga negara yang mandiri dan independen. Munculnya permasalahan tersebut kemudian menggerakkan Komisi Pemilihan Umum untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji karena dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka muncul pertanyaan: Pertama, Bagaimana arah politik hukum lahirnya Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 tahun 2016? dan Kedua, Mengapa hakim Mahkamah Konstitusi membatalkan norma Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif. Pendekatan yang digunakan peraturan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah bahan data sekunder. Dalam data sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Data yang terkumpul kemudian dianalisa melalui analisis deskriptif-kualitatif. Hasil analisis dalam penelitian ini menyatakan bahwa : Pertama, secara akademis dalam risalah sidang Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak memuat alasan dibentuknya pasal tersebut. Intervensi DPR kepada KPU sejatinya mengandung unsur kepentingan politik karena setiap arahan dan petunjuk dari DPR terkait pembuatan peraturan KPU harus diikuti dan dituangkan kedalam peraturan KPU. Terlebih jika kita perhatikan sebagai perbandingan dengan lembaga lain, tidak ada lembaga independen negara yang diharuskan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Sehingga pasal tersebut dijadikan alat untuk mencapai kepentingannya. Kedua, Pasal 9 huruf a bertentangan dengan prinsip kemandirian KPU sebab konsultasi yang bersifat mengikat demikian, Menurut penalaran yang wajar, dibutuhkan bagi pelaksana fungsi KPU, in casu dalam menyusun peraturan KPU dan pedoman teknis yang menjadi kewenangannya, guna mencapai tujuan terselenggaranya pemilu dan pemilihan kepala daerah yang demokratis. Konsultasi dimaksud merupakan kebutuhan karena norma undang-undang (yang merupakan produk bersama antara DPR dan presiden) tidak selamanya memuat rumusan yang jelas yang mencerminkan maksud pembentuknya yang dapat menimbulkan kesulitan pada pihak KPU untuk mengimplementasikannya.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPolitik Hukumen_US
dc.subjectPasal 9 huruf aen_US
dc.subjectUU 10/2016en_US
dc.subjectIndependensien_US
dc.subjectKPUen_US
dc.titlePOLITIK HUKUM PENGATURAN PASAL 9 HURUF A UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR BUPATI DAN WALIKOTAen_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record