dc.description.abstract | Peranan Badan Arbitase di dalam penyelesaian sengketa bisnis di
bidang perdagangan dewasa ini menjadi penting, banyak kontrak menyelipkan
klhsula arbitrase dan ternyata bagi kalangan bisnis cara penyelesaian
sengketa melalui badan arbitrase ini memberikan keuntungan sendiri dari pada
melalui Badan Peradilan Nasional ataupun Peradilan Konvensional. Dalam
banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase
bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan
pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang
berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti
pelanggaran terhadap pe rjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh
karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum
apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, fmal dan mengikat (seperti
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua
pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada
suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan
ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk
penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai
pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.
Berdasarkan pemahaman ini, maka penulisan tesis ini merumuskan
dua rumusan masalah, yakni; Pertama, Apakah Pengadilan berwenang
memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya?, Kedua,
Bagaimanakah kekuatan hukum dari makna kata final dan binding yang
terdapat pada putusan arbitrase?
Dari hasil penelitian masalah ada dua ha1 pokok yang dapat
disimpulkan. Pertama, Pengadilan tidak benvenang memeriksa kembali
perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada
perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase
dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar
ketertiban umum. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas
dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya
sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
Kedua, Kekuatan hukum dari makna kata final dan binding didalam
suatu keputusan arbitrase, pada hakikatnya adalah konsekuensi dari pilihan
para pihak yang telah disepakati untuk dengan sukarela (Voluntary Method)
menetapkan lembaga arbitase sebagai media menyelesaikan perselisihannya.
Oleh karena itu apapun isi keputusan yang dibuat arbitase harus dapat diterima
sebagai solusi akhir perselisihan dan mengikat para pihak untuk mentaati serta
melaksanakannya secara konsisten.
Saran Penulis, Pertama, hendaknya peradilan hams menghormati
lembaga arbitrase dan tidak turut campur, dalam pelaksanaan suatu putusan
arbitrase. Kedua, untuk menghindari ketidak pastian hukum yang pada
gilirannya dapat menurunkan kepercayaan terhadap legitimasi keputusan
lembaga arbitrase, maka kepada para pihak yang mencantumkan akan memilih
penyelesaian perselisihan secara non litigasi, perlu diberikan advokasi dan
konsultasi terlebih dahulu mengenai konsekuensi yang akan dihadapi dengan
menyetujui penggunaan jasa pihak ketiga dalam penyelesaian perselisihan.
Ketiga, agar pelaksanaan keputusan arbitrase dapat terealisasi secara baik dan
benar, tanpa ada keberatan dari pihak tereksekusi, maka perjanjian pokok
diantara para pihak sebaiknya terlebih dahulu sejak awal atau sebelum terjadi
perselisihan didaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk menguatkan dan
menghindari keberatan dalam implementasinya. | en_US |