Show simple item record

dc.contributor.authorSUFRIADI, 10912613
dc.date.accessioned2018-07-20T12:31:55Z
dc.date.available2018-07-20T12:31:55Z
dc.date.issued2012-03-30
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8937
dc.description.abstractMeskipun telah diformalisasi melalui UU No. 18 Tahun 2001, materi tentang Wali Nanggroe belum terealisasi hingga saat ini. Beberapa waktu belakangan, tema ini justru menjadi polemik yang menyita banyak energi masyarakat Aceh dari berbagai kalangan; akademisi dan masyarakat secara umum serta eksekutif dan legislatif Aceh. Tidakberkesudahannya perdebatan ini menimbulkan satu keprihatinan bagi banyak pihak mengingat keberadaan Wali Nanggroe memiliki arti yang penting bagi Aceh, di samping memang telah diformalisasi oleh UU. Terakhir, formalisasi materi ini terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 yang notabenenya bersumber dari Nota Kesepakatan RI-GAM di Helsinki. Perbedaan pemahaman antara RI dan GAM saat itu berimplikasi pada kekeliruan dalam mengartikulasikan rumusan MoU Helsinki ke dalam UU Pemerintahan Aceh (oleh legislatif RI) dan dari UU Pemerintahan Aceh ke dalam Rancangan Qanun (oleh DPRA). Puncak polemik tentang materi Wali Nanggroe muncul pada akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011 seiring dengan munculnya Raqan Wali Nanggroe baru yang menggantikan Raqan Wali Nanggroe yang sebelumnya telah disahkan secara sepihak oleh DPRA namun tidak disetujui oleh eksekutif Aceh. Selain keprihatinan, materi tentang Wali Nanggroe bahkan telah menimbulkan berbagai spekulasi yang berbentuk kecurigaan-kecurigaan. Mandegnya upaya realisasi Wali Nanggroe di Aceh dan munculnya polemik yang berkepanjangan tidak terlepas dari lemahnya pemahaman dan pertimbanganpertimbangan untuk membuat suatu Raqan sebagai bahan untuk dijadikan sebagai Qanun, sehingga kepentingan dasar masyarakat Aceh terhadap keberadaan Wali Nanggroe dan konstruksi kenegaraan di Indonesia tidak terakomodir dengan baik dalam Raqan Wali Nanggroe yang sejauh ini ada. Maka, penelitian ini hendak menawarkan solusi berupa satu gagasan (konsep) Lembaga Wali Nanggroe dengan dasar empat pertimbangan, yaitu konstruksi negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, status NAD, penghargaan terhadap nilai historis Aceh, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dirumuskan dalam dua permasalahan pokok yang hendak dipecahkan. Pertama, Bagaimana perkembangan pengaturan tentang Lembaga Wali Nanggroe dalam peraturan perundang-undangan?; kedua, Bagaimana konstruksi ideal Lembaga Wali Nanggroe dalam kerangka pemerintahan dan kemasyarakat di Aceh saat ini kaitannya dengan konstruksi kenegaraan Indonesia yang berbentuk kesatuan, status NAD, penghargaan terhadap nilai historis Aceh, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama, materi tentang Wali Nanggroe merupakan materi yang masih baru. Dalam kerangka keistimewaan Aceh, Lembaga Wali Nanggroe muncul pertama kali dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh. Materi tentang Wali Nanggroe dalam UU ini tidak terealisasi hingga rumusan tentang Wali Nanggroe kembali muncul dalam MoU Helsinki dan diformalisasi oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Rumusan tentang Wali Nanggroe dalam dua UU ini memiliki substansi yang sama, padahal sejak awal substansi yang diingini anggota GAM ketika proses perundingan di Helsinki sangat jauh berbeda. Hal ini menjadi titik dasar Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan setelahnya selalu buntu. Pertama, Raqan tentang Lembaga Wali xv Nanggroe diterbitkan oleh DPR Aceh pada tahun 2007. Raqan ini terus mengalami perbaikan-perbaikan seiring dengan berbagai masukan yang didapatkan dari masyarakat dan dari pihak GAM sendiri. Perdebatan antara legislatif dan eksekutif Aceh terus bergulir mengenai substansi Raqan tersebut dan tidak mencapai titik temu, hingga pada masa-masa akhir jabatannya pada tahun 2009, DPR Aceh periode 2004-2009 mengesahkan Raqan tersebut secara sepihak, namun pihak eksekutif justru menolak dan tidak mengesahkan Raqan itu menjadi Qanun sehingga tetap tidak dapat direalisasikan. Hingga kemudian tersebar ke ruang publik Raqan baru tentang Lembaga Wali Nanggroe pada tahun 2010, wacana Wali Nanggroe kembali bergulir di Aceh dan mengundang perhatian publik yang lebih besar dari sebelumsebelumnya. Ketentuan yang sangat jauh berbeda dengan Raqan Wali Nanggroe sebelumnya, serta ketentuan-ketentuan di dalamnya yang banyak bersinggungan dengan sistem kenegaraan Indonesia menjadikan Raqan tersebut menuai banyak kritik dan bahkan kecaman dari berbagai kalangan di Aceh. Kedua, Wali Nanggroe dalam konteks sekarang merupakan konsep baru yang mengambil semangat dari konsep Wali Nanggroe pada masa lalu itu. Dalam konteks saat ini di Indonesia, Wali Nanggroe tidak tepat untuk diletakkan sebagai seseorang yang memimpin Aceh secara formal dengan membawahi dua institusi formal penyelenggara pemerintahan di Aceh (eksekutif dan legislatif). Wali Nanggroe lebih tepat diletakkan dalam satu institusi independen yang berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga adat budaya serta menjadi simbol penyatu masyarakat Aceh. Tidak seperti ditentukan pada dua UU yang mengatur tentang Wali Nanggroe, kewenangan yang diberikan kepada institusi ini seharusnya juga mencakup tentang pemerintahan dan politik, meskipun minim. Dalam kedudukan dan fungsinya itu, Wali Nanggroe memiliki kewenangan, pertama, dalam bidang adat istiadat dan syariat (ajaran) Islam yang meliputi: membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat adat serta upacara-upacara adat Aceh dan dalam hal syari’at (ajaran) Islam di Aceh. Kedua, dalam bidang politik dan pemerintahan, meliputi: memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintahan Aceh dalam menetapkan kebijakan terkait adat istiadat, syariat Islam, pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan; kewenangan untuk mengontrol Pemerintahan Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberi teguran serta peringatan kepada pemerintahan; dan menyelesaikan konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif serta konflik antar lembaga adat yang berdasar pada asas musyawarah. Dengan konsep ini, maka yang akan terjadi di Aceh kemudian adalah dualisme kepemimpinan. Namun keduanya memiliki ruang aktivitas, tugas, kewajiban dan wewenang yang berbeda. Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) tetap merupakan kepemimpinan formal yang memiliki kewenangan dalam menjalankan bidang-bidang formal untuk melaksanakan kekhususan yang diberikan kepada Aceh seperti ditentukan di dalam UU Pemerintahan Aceh. Sementara Lembaga Wali Nanggroe sebagai institusi yang mencerminkan kepemimpinan kebudayaan di Aceh.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titleWALI NANGGROE DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (Sebuah Gagasan Untuk Mewujudkan Konstruksi Ideal Wali Nanggroe di Nanggroe Aceh Darussalam)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record