WALI NANGGROE DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (Sebuah Gagasan Untuk Mewujudkan Konstruksi Ideal Wali Nanggroe di Nanggroe Aceh Darussalam)
Abstract
Meskipun telah diformalisasi melalui UU No. 18 Tahun 2001, materi tentang
Wali Nanggroe belum terealisasi hingga saat ini. Beberapa waktu belakangan, tema
ini justru menjadi polemik yang menyita banyak energi masyarakat Aceh dari
berbagai kalangan; akademisi dan masyarakat secara umum serta eksekutif dan
legislatif Aceh. Tidakberkesudahannya perdebatan ini menimbulkan satu
keprihatinan bagi banyak pihak mengingat keberadaan Wali Nanggroe memiliki arti
yang penting bagi Aceh, di samping memang telah diformalisasi oleh UU. Terakhir,
formalisasi materi ini terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 yang notabenenya
bersumber dari Nota Kesepakatan RI-GAM di Helsinki. Perbedaan pemahaman
antara RI dan GAM saat itu berimplikasi pada kekeliruan dalam mengartikulasikan
rumusan MoU Helsinki ke dalam UU Pemerintahan Aceh (oleh legislatif RI) dan
dari UU Pemerintahan Aceh ke dalam Rancangan Qanun (oleh DPRA). Puncak
polemik tentang materi Wali Nanggroe muncul pada akhir tahun 2010 hingga awal
tahun 2011 seiring dengan munculnya Raqan Wali Nanggroe baru yang
menggantikan Raqan Wali Nanggroe yang sebelumnya telah disahkan secara
sepihak oleh DPRA namun tidak disetujui oleh eksekutif Aceh. Selain keprihatinan,
materi tentang Wali Nanggroe bahkan telah menimbulkan berbagai spekulasi yang
berbentuk kecurigaan-kecurigaan.
Mandegnya upaya realisasi Wali Nanggroe di Aceh dan munculnya polemik
yang berkepanjangan tidak terlepas dari lemahnya pemahaman dan pertimbanganpertimbangan
untuk membuat suatu Raqan sebagai bahan untuk dijadikan sebagai
Qanun, sehingga kepentingan dasar masyarakat Aceh terhadap keberadaan Wali
Nanggroe dan konstruksi kenegaraan di Indonesia tidak terakomodir dengan baik
dalam Raqan Wali Nanggroe yang sejauh ini ada. Maka, penelitian ini hendak
menawarkan solusi berupa satu gagasan (konsep) Lembaga Wali Nanggroe dengan
dasar empat pertimbangan, yaitu konstruksi negara Indonesia yang berbentuk
kesatuan, status NAD, penghargaan terhadap nilai historis Aceh, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang dirumuskan dalam dua permasalahan
pokok yang hendak dipecahkan. Pertama, Bagaimana perkembangan pengaturan
tentang Lembaga Wali Nanggroe dalam peraturan perundang-undangan?; kedua,
Bagaimana konstruksi ideal Lembaga Wali Nanggroe dalam kerangka pemerintahan
dan kemasyarakat di Aceh saat ini kaitannya dengan konstruksi kenegaraan
Indonesia yang berbentuk kesatuan, status NAD, penghargaan terhadap nilai historis
Aceh, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama, materi tentang Wali Nanggroe
merupakan materi yang masih baru. Dalam kerangka keistimewaan Aceh, Lembaga
Wali Nanggroe muncul pertama kali dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Aceh. Materi tentang Wali Nanggroe dalam UU ini tidak terealisasi
hingga rumusan tentang Wali Nanggroe kembali muncul dalam MoU Helsinki dan
diformalisasi oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Rumusan
tentang Wali Nanggroe dalam dua UU ini memiliki substansi yang sama, padahal
sejak awal substansi yang diingini anggota GAM ketika proses perundingan di
Helsinki sangat jauh berbeda. Hal ini menjadi titik dasar Raqan Wali Nanggroe yang
dirumuskan setelahnya selalu buntu. Pertama, Raqan tentang Lembaga Wali
xv
Nanggroe diterbitkan oleh DPR Aceh pada tahun 2007. Raqan ini terus mengalami
perbaikan-perbaikan seiring dengan berbagai masukan yang didapatkan dari
masyarakat dan dari pihak GAM sendiri. Perdebatan antara legislatif dan eksekutif
Aceh terus bergulir mengenai substansi Raqan tersebut dan tidak mencapai titik
temu, hingga pada masa-masa akhir jabatannya pada tahun 2009, DPR Aceh periode
2004-2009 mengesahkan Raqan tersebut secara sepihak, namun pihak eksekutif
justru menolak dan tidak mengesahkan Raqan itu menjadi Qanun sehingga tetap
tidak dapat direalisasikan. Hingga kemudian tersebar ke ruang publik Raqan baru
tentang Lembaga Wali Nanggroe pada tahun 2010, wacana Wali Nanggroe kembali
bergulir di Aceh dan mengundang perhatian publik yang lebih besar dari sebelumsebelumnya.
Ketentuan yang sangat jauh berbeda dengan Raqan Wali Nanggroe
sebelumnya, serta ketentuan-ketentuan di dalamnya yang banyak bersinggungan
dengan sistem kenegaraan Indonesia menjadikan Raqan tersebut menuai banyak
kritik dan bahkan kecaman dari berbagai kalangan di Aceh.
Kedua, Wali Nanggroe dalam konteks sekarang merupakan konsep baru yang
mengambil semangat dari konsep Wali Nanggroe pada masa lalu itu. Dalam konteks
saat ini di Indonesia, Wali Nanggroe tidak tepat untuk diletakkan sebagai seseorang
yang memimpin Aceh secara formal dengan membawahi dua institusi formal
penyelenggara pemerintahan di Aceh (eksekutif dan legislatif). Wali Nanggroe lebih
tepat diletakkan dalam satu institusi independen yang berfungsi sebagai pelindung,
pengayom, dan penjaga adat budaya serta menjadi simbol penyatu masyarakat Aceh.
Tidak seperti ditentukan pada dua UU yang mengatur tentang Wali Nanggroe,
kewenangan yang diberikan kepada institusi ini seharusnya juga mencakup tentang
pemerintahan dan politik, meskipun minim. Dalam kedudukan dan fungsinya itu,
Wali Nanggroe memiliki kewenangan, pertama, dalam bidang adat istiadat dan
syariat (ajaran) Islam yang meliputi: membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan
derajat adat serta upacara-upacara adat Aceh dan dalam hal syari’at (ajaran) Islam di
Aceh. Kedua, dalam bidang politik dan pemerintahan, meliputi: memberikan
masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintahan Aceh dalam menetapkan
kebijakan terkait adat istiadat, syariat Islam, pemerintahan, pembangunan, ekonomi,
sosial budaya dan kemasyarakatan; kewenangan untuk mengontrol Pemerintahan
Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberi teguran serta peringatan
kepada pemerintahan; dan menyelesaikan konflik kelembagaan antara eksekutif dan
legislatif serta konflik antar lembaga adat yang berdasar pada asas musyawarah.
Dengan konsep ini, maka yang akan terjadi di Aceh kemudian adalah dualisme
kepemimpinan. Namun keduanya memiliki ruang aktivitas, tugas, kewajiban dan
wewenang yang berbeda. Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) tetap
merupakan kepemimpinan formal yang memiliki kewenangan dalam menjalankan
bidang-bidang formal untuk melaksanakan kekhususan yang diberikan kepada Aceh
seperti ditentukan di dalam UU Pemerintahan Aceh. Sementara Lembaga Wali
Nanggroe sebagai institusi yang mencerminkan kepemimpinan kebudayaan di Aceh.
Collections
- Master of Law [1443]