Show simple item record

dc.contributor.authorSALMAN, 10 912 609
dc.date.accessioned2018-07-20T12:29:19Z
dc.date.available2018-07-20T12:29:19Z
dc.date.issued2012-09-07
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8914
dc.description.abstractPenulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh adanya disparitas yang begitu jauh antara DPD dan DPR, disparitas ini bisa dilihat pada terbatasnya kewenangan yang dimiliki oleh DPD (Pasal 22D UUD 1945) sebagai wakil daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing. Bahkan kebanyakan kalangan menyebut DPD sebagai co-legislator atau acap disebut juga dengan “staaf ahli” DPR, julukan ini diberikan karena DPD hanya mempunyai kewenangan sebatas merancang dan membahas RUU tertentu bersama DPR, tidak sampai pada tahap persetujuan. Kewenangan yang dimiliki DPD jauh lebih kecil bila melihat kewenangan yang dimiliki DPR, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan maupun fungsi anggaran. Di samping itu, keberadaan MPR sebagai “rumah bersama” anggota DPR dan anggota DPD juga secara struktural bersifat permanen karena memiliki Pimpinan, kesekretariatan dan alat kelengkapan sendiri, sehingga dengan demikin parlemen Indonesia tidak jelas bangunannya. Maka sering disebutkan bahwa parlemen Indonesia secara struktural berbentuk trikameral, secara formal bikameral dan secara praktis unikameral. Berkaitan dengan kewenangan DPD, kurang besarnya kewenangan DPD bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena daerah bisa melakukan separatis apabila kesewenangwenangan terus diterima akibat kebijakan pusat tidak melibatkan daerah, melalui DPD, baik sebagai pembuat regulasi maupun melakukan pengawasan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah berjenis yuridis normatif dengan pendekatan yuridis, historis dan politis serta penelitian ini bersifat ius constituendum dan ius contitutum, teknis pengumpulan data studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deksriptif kualitatif dan pada akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian maka penyusun menuimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan yang besar antara kewenangan DPR dan DPD, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan maupun keuangan, padahal keduanya samasama dipilih langsung oleh rakyat. Maka secara teoritis disimpulkan bahwa parlemen Indonesia merupakan perpaduan differentiated bicameralism dan soft bicameralism. Kesimpulan lain adalah masih lemahnya keberadaan DPD yang suatu waktu bisa dibubarkan dan/atau dibekukan oleh Presiden, masih kaburnya sistem Presidensiil Indonesia karena Presiden juga mempunyai fungsi legislasi. Kelemahan lain adalah mekanisme check and balances bisa tidak efektif karena proses legislasi maupun pengawasan hanya berada di tangan lembaga perwakilan politik, sedangkan unsur perwakilan lain, yaitu DPD sebagai representasi daerah, tidak mendapat kewenangan yang berarti sehingga rentan terhadap kongkalikong antara eksekutif dan legislatif. Parlemen bikameral dalam penelitian ini tidaklah berbenturan dengan bentuk negara kesatuan. Kesimpulan yang utama dalam penelitian ini adalah perlunya perubahan kelima UUD 1945, khususnya mengenai bagunan parlemen Indonesia. MPR hendaknya dijadikan sebagai lembaga non permanen sebagai joint session DPR dan DPD saja. Selanjutnya baru diberikan kewenangan yang lebih besar kepada DPD dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan fungsi integrasi, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan daerah.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titleGAGASAN SISTEM PERWAKILAN INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PASCA REFORMASI 1998 (STUDI TERHADAP PENGUATAN D P D)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record