dc.description.abstract | Melalui Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal
menikah telah diperbaharui menjadi 19 (sembilan belas) tahun baik laki-laki
maupun perempuan. Hal ini mengakibatkan melonjaknya angka dispensasi kawin
di Indonesia. Sedangkan dalam perkembangannya, ternyata muncul disparitas
pertimbangan hakim dalam penerapan alasan ―sangat mendesak‖ dalam putusan
perkara dispensasi kawin. Sehingga tulisan ini mencoba menganalisa penerapan
kriteria ―sangat mendesak‖ tersebut dalam kaitannya terhadap perlindungan
perempuan dan anak menurut teori maqāṣid syarī„ah Jasser Auda sebagai upaya
meminimalisir disparitas pertimbangan hakim melalui sudut pandang fikih
kekinian. Melalui penelitian kualitatif dalam bentuk studi pustaka, dengan
pendekatan secara yuridis normatif, yang dikerjakan dengan teknik analisis
deskriptif secara induktif, penulis menyimpulkan bahwa bentuk penerapan teori
sistem maqāṣid syarī„ah Jasser Auda dalam memahami kriteria ―sangat
mendesak‖ setidaknya dapat dianalisa dari 4 (empat) kondisi yang mungkin ada
pada anak yang dimohonkan dispensasi kawin, yaitu kehamilan pada anak, adanya
potensi seks bebas, adanya potensi nikah siri, serta potensi keberlangsungan
pendidikan si anak yang dimohonkan dispensasi kawin, yang mana kondisi-
kondisi tersebut masuk pada keenam fitur sistem maqāṣid syarī„ah Jasser Auda
yaitu cognitive nature of system (kognisi), wholeness (keutuhan), openness
(keterbukaan), interralated hierarchy (kesalingterkaitan hierarki), multi-
dimensionality (melibatkan berbagai dimensi), dan purposefulness (terfokus pada
tujuan/kebermaksudan), serta hal tersebut sejalan pula dengan tujuan dan maksud
dari peraturan-peraturan tentang perlindungan anak dan penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga yang berlaku di Indonesia. | en_US |