Penasaban Anak Pada Kedua Orang Tua yang Berdasar Pada Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTIM) Tentang Adanya Perkawinan Dalam Perspektif Yuridis dan Maqaṣid Syari‘ah
Abstract
Penasaban anak pada kedua orang tua berdasar pada Surat Pernyataan Tanggung
Jawab Mutlak (SPTJM) tentang adanya perkawinan, ditulis Peneliti, dilatarbelakangi
adanya ketentuan tersebut dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019. Dalam ketentuan penasaban anak pada
laki-laki dilakukan tanpa pembuktian adanya perkawinan hanya verifikasi dan validasi
tentang adanya surat tersebut, menarik diteliti secara yuridis apakah ketentuan tersebut
sejalan atau bertentangan dengan ketentuan yang lain dan/atau yang lebih tinggi, lalu
dalam perspektif maqaṣid syari‘ah apakah ketentuan tersebut telah sesuai atau tidak
dengan tujuan hukum terkait penasaban. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
berupa studi dokumen, pendekatannya yaitu pendekatan yuridis, sinkronisasi hukum dan,
normatif, metode pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumen, dan metode
anlisis deduktif, untuk ditarik kesimpulan. Kesimpulannya dalam perspektif yuridis tidak
sejalan dan bertentangan dengan ketentuan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang Perkawinan serta Undang-Undang Peradilan Agama, dimana pasangan
yang menikah namun tidak memiliki kutipan akta perkawinan mengajukan permohonan
isbat nikah, lalu terkait nasab anak maka mengajukan permohonan asal-usul anak ke
Pengadilan Agama. Sehingga ketentuan tersebut harus dikesampingkan dan tidak dapat
dilaksanakan. Berdasarkan perspektif maqaṣid syari‘ah bertentangan dengan illah hukum
penasaban yaitu penetntuan nasab seorang anak pada laki-laki dilakukan pembuktian serta
disebabkan perkawinan. Dengan ketentuan ini nasab seorang anak pada ayahnya menjadi
tidak jelas sehingga maqaṣid syari‘ah dalam hal perlindungan terhadap agama, terhadap
keturunan, dan harta, tidak terwujud,selanjutnya ketentuan ini sebagai Qaṣdu Al-Mukallaf
(tujuan mukallaf) bertentangan dengan Qaṣdu Al-Syar’i (tujuan Tuhan).