Analisis Disparitas Putusan Mengenai Hak Asuh Anak di Bawah 12 Tahun (Studi Putusan PA Yogyakarta Nomor 492/Pdt.G/2020/PA. YK J.O. Putusan PTA Yogyakarta Nomor 12/Pdt.G/2021/PTA.YK)
Abstract
Pengaturan hak asuh anak di Indonesia, secara eksplisit diatur dalam Pasal 105
huruf a Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa dalam hal terjadi suatu
perceraian, pemeliharan anak yang belum mecapai usia 12 tahun (mumayyiz) atau
berumur 12 tahun merupakan hak ibu. Norma tersebut menjadi acuan yang lazim
dalam memutus berbagai perkara hak asuh anak di Indonesia. Namun, pada perkara
cerai gugat Nomor 492/Pdt.G/2020/PA. YK, di Pengadilan Agama Yogyakarta,
mengenai hak asuh anak di bawah 12 tahun diputuskan oleh Majelis Hakim menjadi
hak dan kekuasaan si ayah. Akan tetapi, pada tingkat banding Majelis Hakim di
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta membatalkan putusan tingkat pertama.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan
penetapan hak asuh anak di bawah 12 tahun akibat terjadinya perceraian serta
penerapannya pada perkara yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif, yakni dengan menekankan pemahaman yang
mendalam terhadap latar belakang penelitian. Selain itu, penelitian ini dianalisis
dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis, yakni pendekatan yang
didasarkan pada analisa aturan hukum, dasar atau landasan serta pertimbangan
hakim yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengadilan tingkat
pertama, Majelis Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta berpendapat lain terhadap
norma pengaturan hak asuh anak tersebut. Majelis Hakim mengesampingkan
ketentuan yang ada dan mencoba melihat aspek psikologis dan mempertimbangkan
aspek tumbuh kembang anak. Sementara itu, dalam putusan banding, Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta berpendapat lain dan sekaligus
membatalkan Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta tersebut. Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta tetap berpegang pada norma KHI, dengan
pertimbangan bahwa setiap anak di bawah 12 tahun harus berada di bawah
kekuasaan ibu. Berdasarkan hasil analisis penulis, Majelis Hakim sudah seharusnya
menggunakan kewenangan kemandiriannya dengan melihat berbagai aspek
pertumbuhan anak dan mencoba keluar dari aspek positivisme hukum.
Collections
- Islamic Law [646]