dc.description.abstract | Hukum Islam dituntut untuk mampu menjawab serta menyelesaikan
berbagai persoalan sosial yang dihadapi. Salah satunya adalah pengentasan
kemiskinan melalui adanya institusi zakat. Skripsi ini difokuskan pada pembahasan
mengenai zakat fitrah, lebih khusus, dalam persoalan hukum membayar zakat fitrah
menggunakan qīmah atau nilai dalam bentuk mata uang menurut Yūsuf Al-Qarḍāwī
dan Wahbah Az-Zuḥailī. Skripsi ini berusaha untuk menjawab tiga pertanyaan
penelitian, yaitu: Bagaimana pendapat Yūsuf Al-Qarḍāwī dan Wahbah Az-Zuḥailī
mengenai zakat fitrah dengan uang? Bagaimana metode ijtihad yang digunakan
oleh kedua tokoh tersebut? Apa persamaan dan perbedaan pendapat diantara kedua
tokoh tersebut?
Skripsi ini merupakan penelitian pustaka/library research yang
menggunakan metode penelitian kualitatif. Data penelitian ini bersumber dari data
sekunder, berupa kitab-kitab serta karya dari kedua tokoh yang diangkat. Data yang
sudah didapat kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif-normatifkomparatif.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
menurut
Yūsuf
Al-Qarḍāwī,
zakat
fitrah
lebih baik dilakukan dengan membayar sesuatu yang senilai dengan 1 ṣa’
makanan pokok suatu daerah. Menurutnya, zakat fitrah haruslah dikeluarkan sesuai
dengan kemanfaatan yang akan diterima oleh fakir miskin. Jika membayar zakat
fitrah dengan menggunakan makanan pokok lebih bermanfaat bagi fakir miskin,
maka membayarnya dengan makanan pokok lebih utama. Kemudian, jika
membayar zakat fitrah menggunakan uang dirasa lebih bermanfaat, maka
membayarnya dengan uang lebih utama. Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuḥailī,
zakat fitrah harus sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam nas. Dari segi
dalil, menurutnya dalil yang digunakan jumhur ulama, selain Hanafiyah, lebih sahih
dan arjah. Dalam menyimpulkan hukum zakat fitrah dengan uang, Yūsuf AlQarḍāwī
menggunakan
2
metode
istinbāṭ,
yaitu
intiqā’i
dan
insyā’i.
selain
itu
juga
mempertimbangkan
al-muqāranah wa al-muwāzanah. Wahbah Az-Zuḥailī lebih
condong kepada pendapat jumhur ulama yang mendasarkan hukum tersebut kepada
dalil yang tertera dalam Hadis Nabi daripada mengikuti pendapat sahabat yang
tertulis dalam aṡar. Dia menggunakan metode ijtihad yang menggabungkan peran
akal dan dalil sekaligus, yaitu qiyās. | en_US |