Show simple item record

dc.contributor.advisorDrs. Sidik Tono, M.Hum.
dc.contributor.authorYusron Asropi
dc.date.accessioned2021-12-31T01:42:49Z
dc.date.available2021-12-31T01:42:49Z
dc.date.issued2012
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/35544
dc.description.abstractLahirnya reformasi di Indonesia memberikan jalan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk mengatur kehidupan rumah tangga daerahnya sendiri. Hal tersebut di buktikan dengan di undangkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berbeda dengan daerah lain, Aceh diberikan kekhususan, tidak hanya diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri, namun juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memberlakukan syariat islam diwilayah tersebut, pemberlakuan syariat islam merupakan hasil referendum masyarakat Aceh sendiri, kemudian pemerintah meresponnya dengan mengundangkan UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussala, Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan dioprasionalkan oleh Kepres no 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu poin yang menarik untuk dianalisis dari pemberlakuan UU diatas adalah diberlakukannya hukum pidana islam(jinayah) yang kemudian dilegalisasikan dalam qanun-qanun jinayah, seperti qanun tentang khamer, maisir(judi) dan khalwat(mesum), menarik untuk dianalisis karena di Indonesia telah ada hukum pidana positif, yang wilayah cakupan hukumnya meliputi wilayah NKRI termasuk Aceh. Sehingga asumsi awal penyusun menyatakan bahwa pemberlakuan hukum pidana islam di Aceh akan berimplikasi munculnya dualisme hukum. Implikasi negatif yang timbul adalah hilangnya kepastian hukum, equality befor the law dll. Untuk menganalisa aumsi awal diatas, penyusun kemudian membuat rumusan masalah yaitu bagaimana penerapan hukum pidana islam di Aceh, dan penerapan tersebut apakah telah sesuai dengan hukum positif di Indonesai atau tidak sesuai. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penyusun menggunakan jenis penelitian library research dan sifat penelitiannya adalah deskriptif dalam hal ini mennggambarkan bagaiman prosedur pemberlakuan hukum pidana islam di Aceh, sehingga dapat dilihat kesesuaian atau tidaknya dengan hukum positif. Adapun pendekatannya adalah pendekatan yuridis-normatif dan teknik analisis datanya adalah deskriftif-kualitatif. Dengan metode peneletian tersebut, akhirnya penyusun dapat menyimpulkan bahwa hukum pidana isalm di Aceh telah sesuai dengan hukum positif di Indonesia sehingga dualisme hukum tidak terjadi di Aceh, hal tersebut dapat dipahami melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan, baik vertikal atau horizontalnya.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPenerapan Hukum Pidana Islam di Acehen_US
dc.subjectTinjauan Perundang-Undangan di Indonesiaen_US
dc.titlePenerapan Hukum Pidana Islam di Aceh Dalam Tinjauan Perundang-Undangan di Indonesiaen_US
dc.Identifier.NIM08421001


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record