Show simple item record

dc.contributor.authorSetiawan, Nauzul Ferry
dc.date.accessioned2017-01-23T03:39:53Z
dc.date.available2017-01-23T03:39:53Z
dc.date.issued2000
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/2068
dc.description.abstractSebagian orang dengan kondisi fisik normal biasanya menganggap kebutaan sebagai sebuah tragedi, kekurangan, atau nasib buruk. Pandangan negatif semacam ini, mengakibatkan mereka (sebagian orang normal) merasa tidak perlu peduli pada nasib penyandang cacat netra. Pandangan bahwa kebutaan adalah sebagai suatu bencana, nasib, kutukan dan lain-lain, seringkali mengakibatkan para penyandang cacat netra sendiri menjadi bersikap kikuk, menghindar, dan berprasangka. Maka yang terjadi kemudian adalah sebuah diskriminasi bagi penandang cacat netra. Namun ada beberapa orang dengan kondisi fisik normal telah mencoba memberikan perhatian dan kepedulian terhadap nasib para penyandang cacat netra. Mereka menyadari bahwa penyandang cacat netra juga mempunyai hak yang sama dengan orang yang fisiknya normal. Salah satu wujud kepedulian masyarakat terhadap penyandang cacat netra khususnya di Yogyakarta adalah dengan didirikannya Pusat Rehabilitasi Mardi Wuta sebagai salah satu wadah atau sarana tempat pelatihan bagi mereka. Namun satu hal yang perlu diperhatikan secara serius adalah mengenai perkembangan dan kelanjutan Pusat Rehabilitasi ini. Beberapa tahun belakangan ini Rehabilitasi Mardi Wuta menunjukkan kurangnya perhatian dan penanganan yang lebih baik dan serius. Penanganan tersebut meliputi pengembangan program-program kegiatan yang lebih relevan pada saat sekarang ini. Selain itu perlunya didukung sarana prasarana yang memadahi. Sarana tersebut diantaranya adalah pengembangan ruang-ruang (bangunan) yang akan mewadahi proses kegiatan rehabilitasi Mardi Wuta. Pada proyek Tugas Akhir ini, bangunan yang akan mewadahi proses kegiatan mereka dikonsepkan atas pemahaman dan kebutuhan mereka pada sebuah bangunan arsitektur (Architecture for the Blind). Sebuah konsep arsitektur yang diarahkan pada pemahaman penyandang cacat netra digali melalui kepekaan-kepekaan indra (sensitivitas) yang mereka miliki untuk untuk menginterpretasikan obyek bangunan. Sebuah ilustrasi mengenai sensitivitas tersebut adalah; semua penyandang cacat netra akan menghimpun apa saja yang mereka dapatkan melalui sensitivitas indranya, kemudian dibuat semacam peta pengenal dalam memori mereka untuk menjadi petunjuk dalam memahami sifat benda, ruang atau lain sebagainya. Mereka gunakan sensitivitas indranya untuk mengenali 'tanda' melalui urutan ruang, peil lantai, kontras warna, pencahayaan, ataupun lain sebagainya untuk memahami dan mengenali ruang, benda-benda ataupun unsur-unsur obyek visual lain. Mereka memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai sifat-sifat benda, atau ruang diantaranya melalui observasi rabaan, sisa penglihatan, serta kinestesis. Dari sini arsitektur dicoba menjembatani antara mereka penyandang cacat netra dengan lingkungannya (yang tentunya melalui lingkup yang dapat mereka pahami). Untuk itu konsep arsitektur yang dapat dipahami oleh mereka akan ditransformasikan pada desain dengan menggunakan 'tanda-tanda' yang dapat ditangkap melalui sensitivitas indra yang mereka miliki. Dengan ini diharapkan mereka akan mampu memahami bangunan rehabilitasi ini yang menjadi wadah sehari-hari bagi mereka yang pada akhirnya juga dapat medukung proses rehabilitasi di Mardi Wuta secara lebih optimal.en_US
dc.publisherUII Yogyakartaen_US
dc.subjectPengembangan Pusat Rehabilitasien_US
dc.subjectPenyandang Cacat Netra Mardi Wutaen_US
dc.subjectYogyakartaen_US
dc.titlePengembangan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra Mardi Wuta Yogyakartaen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record