Show simple item record

dc.contributor.advisorDrs. H. Asmuni Mth, M.A
dc.contributor.authorSri Hawani, 13421076
dc.date.accessioned2018-10-23T05:48:46Z
dc.date.available2018-10-23T05:48:46Z
dc.date.issued2018-10-02
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/11298
dc.description.abstractKorupsi adalah masalah terbesar bagi bangsa Indonesia yang belum bisa diselesaikan sampai sekarang. Praktek korupsi yang terjadi hampir dalam segala kehidupan telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang terdepan dalam bidang korupsi. Banyak Undang-undang yang diciptakan terkait kasus korupsi ini diantaranya berupa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi. Namun Undang-undang ini ternyata masih dianggap kurang sempurna sehingga menyebabkan makin banyaknya korupsi. Maka pada tanggal 16 agustus tahun 1999 diadakannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Korupsi sudah menginfeksi seluruh rongga dikehidupan bangasa maka untuk mengatasi hendaknya para Wakil Rakyat dan Intelektual Negara mencoba menciptakan sebuah istrumen hukum yang diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Semua tipe korupsi serta sanksinya sudah ada dalam Undang-undang ini maka diharapkan agar dapat menekan sipelaku korupsi yang semakin sulit dibendung. Jenis sanksi yang berdasarkan Undang-undang tersebut adalah pidana mati dan pidana penjara paling lama 20 tahun, paling singkat selama 4 tahun serta dikenai denda maximal Satu Miliyar Rupiah dan paling sedikit Dua Ratus Juta Rupiah. Dalam Perspektif hukum Islam bahwa Usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan jalan melanggar hukum yang bertentangan dengan prinsip keadilan (Al-Adalah), akuntabilitas (Al-Amanah), dan tanggung jawab dalam suatu jabatan. Tindak pidana korupsi di Indonesia apabila dilihat dari perspektif hukum jinayat maka sama dengan konsep praktek ghulul (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan) dan risywah (suap), alhirabah (perampasan), dan al-ghasab (penggunaan hak orang lain tanpa izin). Perbuatan pidana dalam hukum Islam adanya nass yang melarang korupsi, kemudian telah melakukan perbuatan yang telah menyalahi nass misalnya berbuat ghulul (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan), risywah (suap), al-hirabah (perampasan), al-ghasap (penggunaan hak orang lain tanpa izin) dan yang terakhir pelakunya adalah orang yang sudah dapat dibebankan hukum. Tindakan korupsi tidak dijelaskan secara tegas, namun selalu memberi penjelasan dari setiap permasalahanya dikenai hukuman Ta‟zir yang pelaksanaa hukumannya diserahkan kepada Hakim atau putusan lembaga yang berwenang. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisa persoalan korupsi menurut hukum positif yang berlaku, serta mengenai penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hukum negara. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan deskriptif yang bersifat yuridis normatif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dalam hukum positif dan dalam hukum Islam sama dalam melakukan perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri/orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Yang membedakan kedua hukum ini hanyalah efektifitas dan validitasnya. Kalau hukum positif aturan hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia, sedangkan Hukum Islam merupakan bagian dari domain kultural keagamaan dengan menekankan pada sisi moralitas.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectSanksi Pidana Korupsien_US
dc.titleSANKSI PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMen_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record