Show simple item record

dc.contributor.authorBuchori, Yusuf
dc.date.accessioned2018-09-22T02:39:45Z
dc.date.available2018-09-22T02:39:45Z
dc.date.issued2015-10-20
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/10789
dc.description.abstractPasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ternyata tidak serta merta menghapus atau mengurangi jumlah angka KDRT, tetapi justru dari tahun ke tahun semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, dan kebanyakan korbannya adalah perempuan (isteri). Dari sisi yuridis, lahirnya UU PKDRT merupakan payung hukum bagi korban KDRT atau masyarakat untuk melaporkan pelaku KDRT kepada kepolisian, akan tetapi dalam prakteknya isteri selaku korban KDRT untuk menghentikan dan keluar dari tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya, lebih memilih jalur perdata yaitu perceraian, meskipun dilema yang dihadapi korban adalah tidak siap menjalani hidup sendiri (sebagai janda) dengan menyandang predikat negatif dari masyarakat, serta menanggung biaya hidup keluarga. Fokus Penelitian ini mengkaji tentang mengapa terjadi KDRT dalam rumah tangga dan bagaimana paradigma hakim pengadilan agama dalam menerapkan UU PKDRT dalam putusannya, serta apa bentuk perlindungan hukum bagi isteri korban KDRT pasca perceraian. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normative-empiris yaitu menelurusi, mengkaji dan menganalisa berbagai data sekunder yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dan penelitian pustaka (library research). Penelitian lapangan mengambil lokasi di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Utara. Untuk analisis data lapangan menggunakan analisis isi (content analysis) sedangkan data kepustakaan termasuk putusan pengadilan dianalisis dengan pendekatan sosial dan yuridis (sosio-legal approach) serta keadilan gender (feminist legal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuatnya budaya patriarki, bias gender, salah tafsir ajaran agama serta tidak adanya keseimbangan (power imbalance) antara suami isteri dalam rumah tangga merupakan penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan paradigma hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian akibat adanya KDRT pada umumnya masih berpegang pada tradisi legal positivism sehingga putusannya belum merefleksikan keadilan yang sesungguhnya sebagaimana yang diharapkan masyarakat, karena keadilan yang diterima masih sebatas pada keadilan prosedural, sedangkan hak-hak korban selaku mantan isteri terabaikan. Ada sebagian kecil hakim yang melakukan diskresi dalam putusannya yaitu secara exofficio memberikan kompensasi (ḍaman) untuk pemulihan korban KDRT yaitu berupa kewajiban member mut’ah, nafkah iddah, maskan dan kiswah sebagai bentuk perlindungan hukum bagi isteri korban KDRT. Kewajiban tersebut sekaligus sebagai upaya represif, preventif dan kuratif/rehabilitatif bagi pelaku KDRT, protektif dan restorative bagi korban, serta edukatif bagi masyarakat agar suasana kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara terjalin dengan penuh kasih sayang dan menghapus segala bentuk kekerasan di Negara Indonesia yang modern dan beradab.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPerempuanen_US
dc.subjectKDRTen_US
dc.subjectResearch Subject Categories::LAW/JURISPRUDENCEen_US
dc.titlePerlindungan Hukum Terhadap Perempuan (Isteri) Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Perspektif Penegakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT di Pengadilan Agama)en_US
dc.typeDissertationen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record