Dissertationshttp://hdl.handle.net/123456789/192024-03-28T08:22:28Z2024-03-28T08:22:28ZPotensi Likuefaksi Menggunakan Pendekatan State Parameter Berdasarkan Percepatan Maksimum Permukaan Tanah Akibat Gempa Hasil Codes, Deterministic and Probabilistic Seismic Hazard Analysis (Studi Kasus: Gempa Palu, Sulawesi Tengah, M 7.4, 28 September 2018)Artati, Hanindya Kusumahttp://hdl.handle.net/123456789/485412024-03-25T06:19:07Z2023-01-01T00:00:00ZPotensi Likuefaksi Menggunakan Pendekatan State Parameter Berdasarkan Percepatan Maksimum Permukaan Tanah Akibat Gempa Hasil Codes, Deterministic and Probabilistic Seismic Hazard Analysis (Studi Kasus: Gempa Palu, Sulawesi Tengah, M 7.4, 28 September 2018)
Artati, Hanindya Kusuma
Wilayah Indonesia merupakan zona rawan bencana alam terutama gempa bumi
dikarenakan adanya pertemuan empat plat tektonik yaitu Plat Eurasia, Plat Indo-Australia, Plat
Pasifik, dan Plat Philipine Bock (2003). Salah satu Pulau di Indonesia yang berada pada pertemuan
plat tersebut adalah Pulau Sulawesi. Akibat pertemuan plat tersebut terjadi deformasi baik dalam
bentuk sesar geser (strike slipe fault) maupun sesar naik (thrust fault), sesar aktif tersebut
menyebabkan bencana Gempa Bumi, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah pada tahun 2018, yang
diikuti dengan fenomena likuefaksi. Likuefaksi mengakibatkan kerusakan dibeberapa daerah
antaralain Jono Oge, Petobo, Sibalaya dan Balaroa, serta kerusakan fasilitas umum seperti RSU
Anutapura di Kota Palu. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai potensi likuefaksi yang terjadi dengan mengetahui terlebih dahulu perilaku
tanah di Kota Palu menngunakan pendekatan state parameter.
Pada penelitian ini pendekatan dilakukan berdasarkan Codes dari SNI1726-2019,
Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) dan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA)
untuk mengetahui lebih lanjut Cyclic Stress Ratio (CSR). Sedangkan kerentanan likuefaksi dari
Cyclic Resistance Ratio (CRR) dihitung menggunakan data CPT dan SPT dari pengujian di
lapangan. Sedangkan untuk mengetahui perilaku tanah dilakukan pengujian Consolidated
Undrained (CU) dengan variasi fines content 2%, 5%, 9%, 13% dan 17%. Hal tersebut dilakukan
untuk memperoleh garis steady state di Kota Palu, yang digunakan untuk memperoleh nilai state
parameter sebagai alat ukur kerentanan likuefaksi. Pendekatan state parameter juga dilakukan
dengan metode empiris dan grafik dari Been dan Jeffries (1988) serta Farrar (1986) yang telah
dikembangkan oleh Rahardjo (1989).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan perilaku tanah di Kota Palu
khususnya Wilayah RSU Anutapura merupakan pasir dengan butiran halus kategori tanah
pasir berlanau yaitu Silty Sand (SM), dengan persamaan Steady State Line 𝜆𝑠𝑠 ൌ -1.389
D50 - 0.075 Cu + 1.281. Sedangkan hasil analisis percepatan maksimum di permukaan
berdasarkan Codes diperoleh sebesar 0.26102g, DSHA diperoleh percepatan maksimum di
permukaan sebesar 0.288664g dan dengan analisis PSHA diperoleh percepatan maksimum
di permukaan sebesar 0.200g. Sehingga analisis potensi likuefaksi berdasarkan hasil
perhitungan state parameter dari Farrar (1986) dan Been dan Jeffries (1988) serta Rahardjo
(1989) maka tanah tersebut termasuk berpotensi likuefaksi. Begitu pula analisis yang
dilakukan berdasarkan data CPT dan SPT menghasilkan hasil yang sama yaitu tanah di
lokasi RS Anutapura memiliki kerentanan terhadap likuefaksi dengan Cyclic Stress Ratio
sebesar pada 55.25%. – 61% dari hasil Simplified Seed (1971).
2023-01-01T00:00:00ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PEKERJAANMENUJU TERWUJUDNYA INKLUSI DISABILITAS DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTANURHAYATI, SITIhttp://hdl.handle.net/123456789/484922024-03-19T09:08:19Z2020-06-24T00:00:00ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PEKERJAANMENUJU TERWUJUDNYA INKLUSI DISABILITAS DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NURHAYATI, SITI
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis
norma perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dalam
pemenuhan hak atas pekerjaan agar dapat mengonstruksikan konsep
perlindungan yang lebih baik sehingga inklusi disabilitas dapat
diwujudkan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil
penelitian menunjukkan, bahwa: pertama, terdapat ketidaksesuaian
norma di antara berbagai regulasi tentang perlindungan hukum
bagi penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak atas pekerjaan
baik dalam hukum internasional, nasional, maupun peraturan
daerah. Kedua, implementasi perlindungan hak atas pekerjaan bagi
penyandang disabilitas di Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
belum mewujudkan inklusi disabilitas. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
substansi, struktur, dan kultur hukum masyarakat dalam menghadapi
fakta disabilitas. Secara substansi, terdapat disharmonisasi antara
Perda Prov. DIY No. 4/2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas dengan UU No. 8/2016 tentang
Penyandang Disabilitas. Di sisi lain, disharmonisasi juga terjadi antara
Perda Kab./Kota tentang perlindungan penyandang disabilitas di DIY
dengan Perda Prov. DIY No. 4/2012. Secara struktur, masih terdapat
beberapa kendala yang meliputi: kurangnya pemahaman pemerintah
dan masyarakat terhadap hak-hak penyandang disabilitas, masih
terdapat tumpang tindih kewenangan dalam penanganan disabilitas,
sarana prasarana yang belum aksesibel, dan lemahnya pengawasan.
Sementara itu, secara kultur, budaya hukum masyarakat baik
internal legal culture maupun external legal culture belum sepenuhnya
berpihak pada penyandang disabilitas. Ketiga, konsep perlindungan
hukum yang sebaiknya dilakukan ke depan dapat dikonstruksikan
dari sisi normatif dan praktis. Secara normatif, disharmonisasi dapat
diatasi dengan mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami
disharmonisasi. Selain itu, kerangka kebijakan Indonesia harus
bertumpu pada dokumen Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
yang memuat rencana aksi pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Secara praktis, perlindungan inklusif disabilitas dapat diupayakan
melalui: a) peningkatan kesadaran pemerintah dan masyarakat, b)
partisipasi penyandang disabilitas dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan, c) kebijakan sosial dan kebijakan
responsif disabilitas, d) pendataan yang integratif, e) perencanaan
dan pengganggaran yang pro-disabilitas, f) pemenuhan aksesibilitas
di tempat kerja, g) dukungan bagi penyandang disabilitas, dan h)
perubahan paradigma pembangunan menuju pembangunan inklusif.
Penelitian ini merekomendasikan: a) harmonisasi hukum perlu
dilakukan untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keseimbangan
di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-
undangan, b) Kementerian Hukum dan HAM menjadi leading sector
penanganan isu disabilitas, dan c) disabilitas sebagai isu multi sektor
sehingga harus melibatkan berbagai Kementerian/Lembaga terkait.
2020-06-24T00:00:00ZPOLITIK HUKUM PASAL 21 UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF PASAL 34 AYAT (3) UNDANG-UNDANG DASAR 1945BUAMONA, HASRULhttp://hdl.handle.net/123456789/484912024-03-19T09:08:04Z2020-02-25T00:00:00ZPOLITIK HUKUM PASAL 21 UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF PASAL 34 AYAT (3) UNDANG-UNDANG DASAR 1945
BUAMONA, HASRUL
Hadirnya rumah sakit privat yang dikelola dalam bentuk
Perseroan Terbatas atau Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal
21 UU Rumah Sakit membawa dampak bergesernya tujuan hadirnya
rumah sakit yang sebelumnya adalah wadah sosial-kemanusiaan
menjadi wadah mencari keuntungan ekonomi yang terbagi dalam
saham. Pemenuhan kesehatan salah satunya penyediaan rumah sakit
yang adalah tanggung jawab pemerintah, yang tidak bisa dialihkan
kepada privat seperti halnya Perseroan Terbatas, hal tersebut telah jelas
diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Hal ini kemudian menjadi
latar belakang dan juga menjadi fokus utama kajian dari Disertasi
yang berjudul “Politik Hukum Pasal 21 UU Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit dalam Perspektif Pasal 34 ayat (3) UUD 1945”.
Kajian penelitian disertasi ini difokuskan pada tiga permasalahan
utama, yaitu (1) Apakah Rumah Sakit Privat yang dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau
Perseroan telah sesuai dengan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan politik hukum Indonesia, (2) Mengapa
pembuat undang-undang memasukan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, padahal dalam Pasal
34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan, (3) Bagaimana
seharusnya politik hukum pengaturan bentuk rumah sakit privat ke
depan. Metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif
atau metode doktrinal yang bersifat kualitatif untuk menganalisis data
yang berpedoman pada norma-norma dalam peraturan perundang-
undangan yang berpedoman pada sila-sila Pancasila sebagai dasar
politik hukum Indonesia, selain itu penelitian ini dilakukan wawancara
( focused interview) kepada narasumber. Penelitian ini menyimpulkan
tiga hal sebagaimana yang termuat dalam rumusan masalah, yaitu
(1) bahwa kehadiran Rumah Sakit privat yang dikelola oleh badan
hukum Perseroan Terbatas atau Perseroan bertentangan dan tidak
sesuai dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar
politik hukum nasional, (2) bahwa hadirnya Pasal 21 UU Rumah Sakit
adalah kesengajaan pembentuk Undang-Undang, dikarenakan dalam
pembahasannya tidak menjadikan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dan
Pancasila sebagai dasar politik hukum nasional, (3) bahwa seharusnya
ke depan bentuk badan hukum rumah sakit privat tidak berbentuk PT,
melainkan harus berbentuk yayasan dan perkumpulan, dikarenakan
yayasan dan perkumpulan memiliki kekayaannya yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan sosial yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar politik hukum nasional.
2020-02-25T00:00:00ZREFORMULASI PROSES PERADILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF TERHADAP ORANG MELALUI SARANA NONPENAL DALAM PERSPEKTIF POLITIK KRIMINALHAMDAN, HAMDANhttp://hdl.handle.net/123456789/484902024-03-19T09:07:46Z2020-07-04T00:00:00ZREFORMULASI PROSES PERADILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF TERHADAP ORANG MELALUI SARANA NONPENAL DALAM PERSPEKTIF POLITIK KRIMINAL
HAMDAN, HAMDAN
Dinamika dalam perkara tindak pidana kekerasan kolektif
di Indonesia dapat dikemukakan, bahwa secara filosofis yang
mendorong terjadinya kekerasan kolektif di Indonesia adalah
terjadinya ketidak-sesuaian antara keinginan dengan apa yang
terjadi. Hal ini yang membuat massa, yang memiliki keinginan
yang kuat akan sesuatu tapi hal tersebut tidak terjadi, meluapkan
emosinya yang tak terkontrol, dengan melakukan tindakan yang
menjerumus kearah anarkis. Pada akhirnya, selama manusia tidak
bisa mengendalikan emosinya secara matang, kekerasan kolektif bisa
saja terjadi kapan saja ketika apa yang diharapkan oleh sekelompok
manusia tidak tercapai.
Kekerasan kolektif yang pada gilirannya
berpotensi menimbulkan konflik merupakan fenomena sosial yang
dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa terjadi di
mana saja dan kapan saja pada suatu komunitas sosial. Mengingat
dalam suatu komunitas sosial seringkali merupakan perpaduan
antara beberapa kelompok yang tidak sama (heterogen), maka potensi
konflik selalu saja ada dan sewaktu-waktu dapat meledak. Ibarat
api dalam sekam, sewaktu-waktu dapat menimbulkan kebakaran,
apabila tidak dikelola secara baik. Sejarah masyarakat Indonesia yang
lekat dengan kekerasan, menjadi referensi individu yang sudah lebur
dalam identitas massa. Ketimpangan sosial dan ekonomi, keruwetan
politik, ketidak- percayaan pada sistem, institusi dan aparat hukum,
dan ingatan terhadap penindasan negara, menumbuhkan depresi
sosial yang meledak menjadi kemarahan.Permasalahan akademis
penelitian ini adalah, Pertama Mengetahui formulasi dan aplikasi
proses peradilan tindak pidana kekerasan kolektif terhadap orang
saat ini. Kedua, Untuk mengetahui Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dapat dipakai sebagai sarana terhadap
kasus kekerasan kolektif yang pelakunya tidak teridentifikasi. Ketiga,
mengetahui sarana non penal dapat digunakan sebagai sarana
menyelesaikan kasus kekerasaan kolektif yang pelakunya tidak
teridentifikasi. Keempat, Bagaimana reformulasi proses peradilan
tindak pidana kekerasan kolektif terhadap orang melalui sarana
nonpenal dalam perspektif politik criminal. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif, yang mengkaji sumber-sumber hukum
tertulis yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan filosofis
(philosophical approach), pendekatan perundang- undangan (statute
approach), pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Penelitian ini menggunakan
teori sistem hukum sebagai grand theory, teori kewenangan sebagai
middle-range theory, teori momentum dan teori politik hukum sebagai
applied theory. Melalui kajian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa
secara yuridis pengguanan sarana non penal dalam tindak pidana
kekerasan kolektif dirasana sangata diperlukan disama yang akan
datan. Tidak adanya tersangka yang teriedentifikasi membuat negara
ikut memberikan kontribusi dalam proses penyelesaian hig=ngga
pemberian restusi pada korban. Reformulasi proses peradilan tindak
pidana kekerasan kolektif sanagat perlu dilakuakn tentunya melalui
pendekatan budaya dan kearifan lokal sehingga value rasa keadilan di
masyarakat tercerin dalam proses penegakan hukum tersebut.
2020-07-04T00:00:00Z