Mahkamah Agung (MA) sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman membuat terobosan terbaru terkait dengan permohonon pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang berisi aturan tentng permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Terobosan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Agung karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Untuk itu permasalahan utama yang ingin dijawab dalam masalah ini adalah Apa latar belakang keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014, Bagaimana kedudukan SEMA No. 7 Tahun 2014 dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, dan Bagaimana kekuatan hukum SEMA No. 7 Tahun 2014. Penelitan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu meninjau dan membahas objek penelitian dengan menitikberatkan pada segi-segi yuridis. Selanjutnya Data yang diperoleh dari studi pustaka dan studi dokmen dianalisis dengan metode kuantitatif yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang besifat khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Latar belakang dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana adalah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung di dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam UU NO 12 Tahun 2011 berada di luar hirarki peratuuran perundang-undangan, tetapi tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Selanjutnya adalah SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan hukum dibandingkan dengan Putusan Mahkamah konstitusi yang memutuskan bahwa Pasal Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 karena posisi ataupun kedudukan SEMA dibawah dari Undang-Undang dimana putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan isi dari sebuah Undang-undang. Seharusnya ada Peraturan Perundang-Undangan yang menjelaskan secara jelas kedudukan dan fungsi Surat Edaran Mahkamah Agung agar masyarakat dapat dengan mudah memahami kedudukan dan kekuatan hukum SEMA yang dibentuk Mahkamah Agung. Surat Edaran Mahkamah Agung adalah bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi, dengan adanya SEMA ini diharapan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara tetap bersifat independen dan lebih mengutamakan keadilan hukum. Kata Kunci: Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi, Hirarki Peraturan Perundang-undangan