Indonesia sebagai salah 1 (satu) negara demokrasi secara eksplisit telah mengakui sebagai negara hukum. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan: “Indonesia adalah negara hukum”. Demokrasi mengharuskan adanya partisipasi publik, tanpa adanya partisipasi publik bisa dipastikan negara demokrasi akan mati dan digantikan dengan negara otoriter. Akan tetapi di Indonesia dewasa ini ada persyaratan yang menyatakan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” untuk bisa berrpartisipasi menjadi pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Persyartan tersebut tertera dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Persyaratan tersebut dipandang merugikan hak konstitusional mantan terpidana yang pernah dijatuhi hukuman penjara yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih, sehingga pada tahun 2009 persyaratan yang menyatakan demikian diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, tidak hanya sampai disitu, disengaja atau tidak, pembuat undang-undang menyertakan kembali persyaratan tersebut dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dengan adanya persyaratan tersebut hak konstitusional mantan terpidana kembali terhalang untuk berpartisipasi menjadi pejabat publik yang dipilih melalui pemilu, sehingga pada tahun 2015 kembali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait persyaratan tersebut dan Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara tersebut dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Yang pada intinya ke 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyatakan bahwa persyaratan yang menyatakan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah inkonstitusional bersyarat, yaitu: (1) Tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) Berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (3) Dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (4) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi mengembalikan hak politik mantan terpidana yang pernah melakukan tindak pidana yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih untuk bisa berpartisipasi dalam pengisian jabatan publik yang dipilih melalui pemilu. Kata kunci : hak politik, Hak Mantan Terpidana, Inkonstitusional Bersyarat