Penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya paksa terhadap tersangka dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan masih sering terjadi, meskipun pada prinsipnya KUHAP telah memberikan aturan-aturan yang bertujuan untuk mencegah penyalah gunaan kewenangan tersebut. Praperadilan adalah lembaga yang berfungsi untuk mengkoreksi penyalahgunaan wewenang tersebut, akan tetapi ketentuan hukum acara praperadilan dalam KUHAP diatur sangat sumir, tidak jelas dan tidak lengkap, sehingga dalam implementasinya kurang memberikan perlindungan terhadap hak-hak Tersangka dan pihak ketiga. Sebagian besar permohonan Praperadilan ditolak karena tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya atau perkara gugur karena pokok perkaranya sudah diperiksa di pengadilan negeri. Untuk mengetahui hambatan-hambatan terwujudnya perlindungan hak-hak Tersangka dan pihak ketiga, maka perlu diteliti implemantasi Praperadilan di Pengadilan Negeri Sleman. Penelitian mengenai implementasi praperadilan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingaan hukum acara dan pendekatan melalui putusan-putusan perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Sleman, yang didukung dengan data empiris yang diperoleh melalui observasi langsung obyek yang diteliti, maupun dengan metode kuisioner terhadap Hakim-hakim di Pengadilan Negeri Sleman. Substitusi hukum acara perdata dalam implementasi Praperadilan di Pengadilan Negeri Sleman tidak selalu menguntungkan bagi Tersangka dan pihak ketiga selaku pemohon Praperadilan, seperti dalam hal beban pembuktian yang menitik beratkan beban pembuktian kepada Penggugat (Pemohon dalam praperadilan) sangat tidak adil bagi Pemohon Praperadilan, tidak adanya kewenangan Hakim untuk memerintahkan tersangka dan pejabat yang bersangkutan untuk hadir didengar keterangannya dipersidangan secara langsung, mengakibatkan pemeriksaan menjadi tidak efektif, sedangkan waktunya dibatasi hanya dalam 7 (tujuh) hari sudah harus putus. Obyek sengketa praperadilan adalah berupa keputusan dari penyidik atau penuntut umum untuk melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, yang bahan-bahan pertimbangannya berasal dari alat bukti yang berhasil dikumpulkan oleh penyidik atau penuntut umum melalui proses penyelidikan dan penyidikan, oleh karena itu ketika keputusan tersebut dipertanyakan keabsahannya maka sudah selayaknya pihak penyidik atau penuntut umum untuk menyerahkan berkas-berkas hasil penyelidikan dan penyidikan yang dijadikan dasar keputusannya tersebut ke pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tentang gugurnya praperadilan pada saat perkara pokok telah diperiksa di pengadilan negeri dirsakan sangat tidak adil bagi Pemohon Praperadilan, sehingga perlu ada pembatasan yang bersifat larangan bagi Penyidik atau Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pokok ke Pengadilan Negeri kecuali dalam hal masa tahanan Tersangkanya akan habis dan tidak dapat diperpanjang lagi. Praperadilan tentang SP3 tidak terkait dengan keadaan yang mengharuskan perkara diperiksa secara cepat, sehingga harus dikecualikan dari tenggang waktu 7 (tujuh) hari. Hukum Acara Praperadilan sebagai Hukum Acara Pidana hendaknya dirumuskan secara tertulis (Lex Scripta) dengan perumusan yang jelas dan lengkap, tidak mengundang tafsir yang berbeda-beda (Lex Certa) dan dirumuskan dengan ketat (Lex Stricta), oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum acara praperadilan sangat diperlukan Mahkamah Agung untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur secara lengkap hukum acara praperadilan sebagai hukum acara pidana yang dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia.